ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI
“Aku datang - entah dari
mana,
aku ini - entah siapa,
aku pergi - entah kemana,
aku akan mati - entah
kapan,
aku heran bahwa aku
gembira”.
(Martinus dari Biberach, tokoh
abad pertengahan).
1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh
kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia
ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada
agama:
“Manusia mengharapkan dari
berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup
manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati
manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa
itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk
mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran
sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang
menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita
menuju?” -- Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang
Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.
Salah satu hasil renungan
mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah,
terdapat dalam Mazmur 8:
“Ya Tuhan, Allah kami,
betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi
langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan
anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu,
buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga
Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga
Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti
Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia
berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu
sapi sekalian,
juga binatang-binatang di
padang;
burung-burung di udara dan
ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi
arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami,
betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”
2. Manusia
berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal
sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan
akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik
segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan
kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”)
tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
tersebut.
Makin ilmu pengetahuan
menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin
nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat adalah
pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan
(realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan
realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (=
kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 - 873 M) :
"Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan
pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia
... Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu
pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran".
Unsur "rasional"
(penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya
untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan
manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut "secara mendasar"
karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama,
atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang
dipelajari ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia
dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas
-- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling
dalam.
Karl Popper (1902-?)
menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu
sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu
tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa
argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak
akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu
hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut
menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup". Mengingat
berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to
think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger
(1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita
"berterimakasih" = "to thank" (Inggeris) =
"danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah
kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat
bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom",
dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang
artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang
memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang
diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata
"widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan. Kata
"vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang
dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para
filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles
(384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere =
menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan
satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu
disebut filsafat:
Aras abstraksi pertama -
fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir,
akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi
tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal
yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum:
itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama
materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika”
(“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua -
matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari
materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi
hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang
dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis”
(“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga -
teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-"abstrahere"
dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan
tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika
jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu
pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat
pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah”
fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat
mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan;
disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian
dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti
menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
3. Manusia
berteologi
Teologi adalah:
pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan
berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan
sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui
sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam
diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi
dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya
di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai
Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir
itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin.
Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap
sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun
makna kata "sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau
sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan.
Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin
mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang
menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari,
dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan
dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama
adalah wujud sosial dari iman.
Catatan.
(1) Proses yang disebut
pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas
kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi
hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu
("'ilm") telah digunakan dalam teks Al Qur'an. Kedekatan kata
'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti.
Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan
ilmu pengetahuan", Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga
harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu dalam pengertian umum dewasa
ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata "ilmu" dalam
teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya
agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan
"dari bawah". Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin
menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan
kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya.
Pendekatan "dari atas" nyata pada agama-agama samawi: Allah
mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu
iman adalah tanggapan manusia atas "sapaan" Allah itu.
Sebagai ilmu, teologi
merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin
memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya:
"aku tahu kepada siapa aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan
agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur
"intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan
memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq,
yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
4. Obyek material
dan obyek formal
Ilmu filsafat memiliki
obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang
dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala
"manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala
ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka
ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi),
dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata
"akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti
dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan
terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah
tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang
akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara
pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga
mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara
pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem
filsafat.
Filsafat berangkat dari
pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang
sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara
tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap
pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat
diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada
filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat
pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala
"manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu
berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran"
(versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus
"ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus
"subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari
mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya
gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir
itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu
pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan
dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau
metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
5. Cabang-cabang
filsafat
5.1.
Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat
"filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang
akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ...
Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:
1. filsafat tentang
pengetahuan:
obyek
material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik
ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang
seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek
material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika
umum (ontologi);
metafisika
khusus:
antropologi
(tentang manusia);
kosmologi
(tentang alam semesta);
teodise
(tentang tuhan);
3. filsafat tentang
nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek
material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.
5.2.
Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang
pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana
asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis
atau dugaan belaka?
Pertanyaan tentang
kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan
jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika
("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan",
"berhubungan dengan bahasa". Disini bahasa dimengerti sebagai
cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta
aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah
adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon
ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu
lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua
ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu,
metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang
diberikan.
5.3.
Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat:
eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan
sebaginya.
5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati
(kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud
dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus
(Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan
menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku
manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et
Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang
pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap
"takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane.
Sebegitu, maka tidak ada
filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran
menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara
filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji
dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan
hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.
Catatan lain.
1. Iman dapat digambarkan
mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja
dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah
peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu".
Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut
ditanyakan "dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah
"hati" itu (misalnya dalam kata "sakit hati" jika seorang
pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ
hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang diurus
oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula apa yang tersirat dalam
kata "batin", "kalbu", "berhati-hatilah",
"jantung hati", "jatuh hati", "hati nurani", dan
"suara hati".
3. Menurut Paul A
Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada
banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak
makna terkait dalam satu kata. Manusia ditantang untuk berfikir dan
berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and distinctly"),
sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran.
Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam
menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya
dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan
terpilah-pilah tersebut.
6. Refleksi rasional
dan refleksi imani
Ketika bangsa Yunani mulai
membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material
dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam
naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki
sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut
Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi
juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel
-- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai "bangsa
terpilih", mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik
dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka.
Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab
Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun
memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.
Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel
dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama
dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang
disebut "negara Israel".
Kedua refleksi itu berbeda
dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan
Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan
mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa
dikuasai oleh para dewa dan dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa
Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama
Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan
penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan
sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan
universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat
manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.
Sekarang ada yang
berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi
dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi
bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena
itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus
dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula
refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan
yang terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif"
tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak
benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab
suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang
penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari.
Misalnya saja Bhagavadgita
(abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata,
dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber
segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi
Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk
"mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini.
Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan
yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan
sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-"dharma
yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang
tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah "a man of action"
("karma yogin"), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak
sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui
"perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave,
Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama.
Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah
dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu
tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.
Sesungguhnya, berefleksi
merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi
merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi
manusia yang utuh, dewasa dan mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan
kelompok-kelompok manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya,
menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta
melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan.
Catatan.
Adakah refleksi tentang
realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra
Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ:
"Manunggaling Kawula Gusti" (1935), yang telah diterjemahkan oleh
Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar