PENDAHULUAN
Filsafat
berasal dari bahasaYunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein
berarti teman atau cinta, dan shopia shopos kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah.atau
berarti. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala
ilmupengetahuan. Filsafat dan Ilmu adalah duakata yang saling berkaitan baik
secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan
dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan
filsafat. Ilmu atau Sains merupakan komponenter besar yang diajarkan dalam
semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu,
pengetahuan ilmiah tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap
sebagai hafalansaja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan,
menjelaskan,memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamananhidup.
Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan
umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi
dibencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental, karena ilmu telah
mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari
manusia telah menjadi budakilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu
mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi
boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan
teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.
Ilmu
filsafat itu sangat luas lapangan pembahasannya. Tujuannya ialah mencari
hakihat kebenaran dari segala sesuatu, baik dalam kebenaran berpikir (logika),
berperilaku (etika), maupun dalam mencari hakikat atau keaslian (metafisika).
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan
nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima
dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi
bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan
filsafat moral. Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan
antara benar dan salah, baik dan buruk. Namun penilaian ini hanya bisa
dilakukan oleh orang lain yang melihat kita. Orang lain yang mampu memberikan
penilaian secara objektif dan tuntas, dan pihak lain yang melakukan penilaian
sekaligus memberikan arti adalah pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kita
Direktur
Avicena Center for Religions and Science (ACRoSS)-ICAS menyerukan agar filsafat
memilki komitmen intelektual terhadap problema peradaban kontemporer,
mengeksplorasi potensi filsafat yang memiliki visi dan perspektif yang lebih
mampu menyentuh isu-isu kemanusiaan dan kebudayaan pada umumnya. Kesadaran
bahwa kini filsafat dan kebudayaan Barat modern telah membonceng imperialisme
politik dan ekonomi Barat didukung oleh keunggulan sains dan teknologi mereka,
telah membelenggu cara berpikir manusia modern umumnya. Telah 300 tahun
ditanamkan bahwa filsafat itu adalah semata pelayan sains positivistik
(materialisme ilmiah), bahwa filsafat terbatas pada olah nalar menganalisis
bahasa, bahwa berfilsafat itu identik dengan berpandangan skeptisisme yang
menolak kebenaran universal, bahwa filsafat tidak berhubungan dengan isu-isu
moral dan kemanusiaan. Dalam alam pemikiran postmodernis, Filsafat, dalam
maknanya yang asli sebagai ‘cinta kebijaksanaan’, sesungguhnya telah mati, dan
ia telah bermetamorfose menjadi miso-sophy (‘benci kebijaksanaan’).
Kebudayaan
adalah aktivitas khas manusia yang berkembang seiring kemajuan daya pikir suatu
masyarakat. Meski tidak tepat untuk menggolongkan budaya manusia dengan klasifikasi
budaya primitif dan budaya maju, namun proses perkembangan kebudayaan terus
berjalan seiring dinamisasi kehidupan manusia. Filsafat kebudayaan menjadi
penting, karena memberikan penunjuk arah kemana manusia seharus berkembang
dengan menyelidiki sedalam-dalamnya siapa manusia itu, kemana jalannya dan
kemana tujuan akhir hidupnya. Interaksi antar bangsa-bangsa di dunia
berkorelasi dengan proses saling mempengaruhi di bidang kebudayaan. Pada
makalah kali ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang hubungan antara ilmu,
teknologi, etika, kebudayaan, dan krisis kemanusiaan.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
1)
Ilmu
Pengertian
kata “ilmu” secara bahasa adalah pengetahuan tentang sesuatu yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang itu (Bakhtiar, 2007).
Ciri-ciri
utama ilmu secara terminologi adalah:
1.
Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat
diukur dan dibuktikan.
2.
Koherensi sistematik ilmu.
3.
Tidak memerlukan kepastian lengkap.
4.
Bersifat objektif.
5.
Adanya metodologi.
6.
Ilmu bersumber didalam kesatuan objeknya.
2)
Teknologi
Pada
umumnya orang selalu memahami bahwa teknologi itu bersifat fisik, yakni yang
dapat dilihat secara inderawi. Teknologi dalam arti ini dapat diketahui melalui
barang-barang, benda-benda, atau alat-alat yang berhasil dibuat oleh manusia
untuk memudahkan realisasi hidupnya di dalam dunia. Hal mana juga
memperlihatkan tentang wujud dari karya cipta dan karya seni (Yunani: techne)
manusia selaku homo technicus. Dari sini muncullah istilah “teknologi”, yang
berarti ilmu yang mempelajari tentang “techne” manusia.
Tetapi
pemahaman seperti itu baru memperlihatkan satu segi saja dari kandungan kata
“teknologi”. Teknologi sebenarnya lebih dari sekedar penciptaan barang, benda
atau alat dari manusia selaku homo technicus atau homo faber. Teknologi bahkan
telah menjadi suatu sistem atau struktur dalam eksistensi manusia di dalam
dunia. Teknologi bukan lagi sekedar sebagai suatu hasil dari daya cipta yang
ada dalam kemampuan dan keunggulan manusia, tetapi ia bahkan telah menjadi
suatu “daya pencipta” yang berdiri di luar kemampuan manusia, yang pada
gilirannya kemudian membentuk dan menciptakan suatu komunitas manusia yang
lain.
Awalnya
teknologi dapat dipahami sebagai hasil buatan manusia, tetapi kini teknologi
juga harus dipahami sebagai sesuatu yang dapat menghasilkan suatu kemanusiaan
tertentu. Teknologi bukan lagi sebagai “barang”, tetapi telah menjadi semacam
“ke-barang-an” yang mampu melahirkan sejumlah cara hidup, pola hidup, dan
karakter hidup dari manusia, yang dulu menciptakannya. Demikianlah teknologi
tidak hadir lagi secara fisik-inderawi dalam barang atau benda atau alat,
melainkan telah hadir dalam bentuk sebagai suatu “roh” zaman, sistem sosial dan
struktur masyarakat manusia dalam suatu komunitas. Meminjam istilah
Mangunwijaya, maka teknologi telah menjadi “tuan” yang memperbudak, “raja’ yang
otonom dan totaliter, bahkan “dewa” yang menuntut pengorbanan dari manusia.
Dalam
pemahaman seperti itu, maka teknologi jangan dianggap sebagai suatu pokok yang
enteng atau gampangan, melainkan ia harus dipandang sebagai suatu pokok yang
serius dan bahkan harus mengundang suatu kreativitas pengkajian yang lebih
cermat, dalam dan kritis, baik secara filosofis maupun teologis. Dalam arti
bahwa teknologi juga adalah persoalannya manusia dan dunia ini.
Dengan
orientasi pemahaman seperti itu, kita juga dapat mengerti bahwa teknologi
sebenarnya bukanlah suatu pokok atau tema yang parsial sifatnya, melainkan
adalah sesuatu yang total dan menyeluruh. Dapat dikatakan bahwa teknologi
sesungguhnya adalah tema atau pokok yang universal dan global. Pemahaman atau
pemaknaan terhadapnya tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan
pendekatan-pendekatan lokal tradisional sebagai yang adi-luhung, suci dan
bersih, lalu memandang teknologi sebagai sesuatu yang dari luar
(keBarat-Baratan), kotor dan jahat, melainkan memerlukan suatu pendekatan yang
melibatkan seluruh bangsa dan masyarakat untuk berbicara bersama. Pendekatan
seperti ini adalah begitu penting, mengingat bahwa teknologi selain mempunyai
manfaatnya bagi manusia, ia juga punya dampak-dampak yang merugikan keberadaan
manusia. Dan baik manfaat dan maupun kerugian itu, juga bukan hanya menjadi
bagiannya masyarakat kemana teknologi itu dimanfaatkan, tetapi juga dialami
oleh masyarakat dimana teknologi itu dimulai (dihasilkan atau di’cipta’kan).
Jadi sesungguhnya, teknologi itu adalah tema-nya dan pokok-nya masyarakat
global (Mangunwijaya, 1999).
Beberapa
pengertian teknologi telah diberikan atara lain oleh David L. Goetch yaitu
“people tools, resources, to solve problems or to extend their capabilities“.
Sehingga teknologi dapat dipahami sebagai "upaya" untuk mendapatkan
suatu "produk" yang dilakukan oleh manusta dengan memanfaatkan
peralatan (tools), proses, dan sumberdaya (resources).
Pengertian
yang lain diberikan oleh Arnold Pacey yang berbunyi "The application os
scientific and other knowledge to practical task by ordered systems, that
involve people and organizations, living things and machines". Dari
definisi ini nampak, bahwa teknologi tetap terkait pada pihak-pihak yang
terlibat dalam perencanaannya, karena itulah teknologi tidak bebas organisasi,
tidak bebas budaya dan sosial, ekonomi dan politik.
Definisi
teknologi yang lain diberikan oleh Rias Van Wyk adalah "Technology is a
"set of means" created by people to facilitate human endeavor".
Dari definisi tersebut, ada beberapa esensi yang terkandung yaitu:
- Teknologi terkait dengan ide atau pikiran yang tidak akan pernah berakhir, keberadaan teknotogi bersama dengan keberadaan budaya umat manusia.
- Teknologi merupakan kreasi dari manusia, sehingga tidak alami dan bersifat artifisial
- Teknologi merupakan himpunan dari pikiran (set of means), sehingga teknologi dapat dibatasi atau bersifat universal, tergantung dari sudut pandang analisis
- Teknologi bertujuan untuk memfasilitasi ikhtiar manusia (human endeavor). Sehingga teknologi harus mampu meningkatkan performa (kinerja) kemampuan manusia.
Dari
definisi di atas, ada 3 entitas yang terkandung dalam teknologi yaitu:
ketrampilan (skill), logika berpikir (Algorithnia), dan perangkat keras
(hardware). Dalam pandangan Management of Technology, Teknologi dapat
digambarkan dalam beragam cara yaitu sebagai berikut:
- Teknologi sebagai makna untuk memenuhi suatu maksud di dalamnya terkandung apa saja yang dibutuhkan untuk mengubah (mengkonversikan) sumberdaya (resources) ke suatu produk atau jasa.
- Teknologi tidak ubahriya sebagai pengetahuan, sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan (objective).
- Technologi adalah suatu tubuh dari ilmu pengetahuan dan rekayasa (engineering) yang dapat diaplikasikan pada perancangan produk dan atau proses atau pada penelitian untuk mendapatkan pengetahuan baru.
3)
Etika
Kata
“etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti kebiasaan, adat,
watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bahasa Latin, etika disebut dengan
moral (Mos/Mores) yang memiliki pengertian adat kebiasaan atau kesusilaam.
4)
Kebudayaan
Kata
"kebudayaan" berasal dari kata Sansekerta yaitu buddhayah, ialah
bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal".
Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan
akal. Ada pendapat lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan
dari majemuk budidaya, yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka
membedakan budaya dari kebudayaan. Dengan demikian budaya adalah daya dari budi
yang berupa cipta, karsa dan rasa itu. (Kontjoroningrat, 1986). Adapun istilah
dari bahasa Latin yaitu colere, yang berarti "mengolah, mengerjakan",
terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang istilah culture
(bahasa Inggris), sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam.
Defini
kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam
seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam
suatu ruang dan waktu. Cara berpikir dan cara merasa itu menyatakan diri dalam
cara berlaku dan cara berbuat. Dengan demikian definisi itu dapat dipersingkat
sebagai berikut: cara berlaku atau berbuat dalam kehidupan, atau dapat
disingkat lagi menjadi “cara hidup” (Inggris: way of life). Jadi kebudayaan
meliputi seluruh kehidupan manusia. Segi kehidupan yang dimaksud identik dengan
apa yang diistilahkan oleh antropologi dengan cultural universal atau pola
kebudayaan sejagat, yaitu segi-segi kebudayaan yang universal ditemukan dalam
tiap kebudayaan. Antara masyarakat dan kebudayaan terjalin hubungan dan
pengaruh yang sangat dekat. Masyarakat adalah wadah kebudayaan dan kebudayaan
membentuk masyarakat. Masyarakat ialah kelompok besar manusia, dimana hidup
terkandung kebudayaan yang diamalkan oleh kelompok itu sebagai kebudayaan
mereka. Ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang, dan waktu berbeda
pula kebudayaannya.
5)
Krisis kemanusiaan
Krisis
adalah suatu keadaan dimana terjadinya peralihan dari keadaan lama menuju
keadaan baru yang belum pasti. Misalnya, metode lama telah ditinggalkan, tetapi
metode baru belum sepenuhnya dapat digunakan, sehingga yang terjadi adalah
kebingungan, karena belum adanya metodologi baru yang memadai. Krisis
kemanusiaan merupakan suatu peristiwa atau runtutan peristiwa ancaman kritis
terhadap kesehatan, keamanan, dan keberadaan atau eksistensi suatu komunitas
atau suatu kelompok besar dalam suatu wilayah luas.
B.
Hubungan antara Ilmu dan Teknologi
Kekhususan
ilmu dibandingkan pengetahuan terletak pada kemampuan manusia untuk menyadari
pengetahuan yang diperolehnya secara spontan dan langsung itu serta membuatnya
teratur dalam suatu sistem, sehingga bila orang lain menanyakan, ia bisa
menerangkan dan mempertanggungjawabkan. Dengan perkataan lain,
pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dikumpulkan, lalu diatur dan disusun
sehingga masuk akal dan bisa dimengerti orang lain.
Proses
sistematisasi pengetahuan menjadi ilmu biasanya melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
1.
Tahap perumusan pertanyaan sebaik mungkin.
2.
Merancang hipotesis yang mendasar dan teruji
3.
Menarik kesimpulan logis dari pengandaian-pengandaian.
4.
Merancang teknik men-tes pengandaian-pengandaian.
5.
Menguji teknik itu sendiri apakah memadai dan dapat diandalkan.
6.
Tes itu sendiri dilaksanakan dan hasil-hasilnya ditafsirkan.
7.
Menilai tuntutan kebenaran yang diajukan oleh pengandaian-pengandaian itu serta
menilai kekuatan teknik tadi.
8.
Menetapkan luas bidang berlakunya pengandaian-pengandaian serta teknik dan
merumuskan pertanyaan baru.
Ilmu
adalah sistematisasi, metodis dan logis. Pengetahuan disistematisasikan menjadi
ilmu bisa lewata induksi dan deduksi. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin
tahu manusia dalam taraf keilmuan. Penelitian memegang peranan dalam:
Ø Membantu manusia memperoleh
pengetahuan baru.
Ø Memperoleh jawaban suatu
pertanyaan.
Ø Memberikan pemecahan atas suatu
masalah.
Fungsi
penelitian adalah membantu manusia meningkatkan kemampuannya untuk
menginterpreatasikan fenomena-fenomena masyarakat yang kompleks dan
kait-mengait sehingga fenomen itu mampu membantu memenuhi hasrat ingin manusia.
Ciri berpikir ilmiah adalah skeptik, analitik, kritis. Ilmu pengetahuan
mendorong teknologi, teknologi mendorong penelitian, penelitian menghasilkan
ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan baru mendorong teknologi baru.
(Sutarjo,
1983)
C.
Hubungan antara Ilmu dengan Etika
Pada
sub-bagian ini kita akan membahas manusia sebagai manipulator dan artikulator
dalam mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep
diri dari Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id”
adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu
dalam agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido
(konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras
antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang
mewakili ideal, hati nurani (JRakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif
manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika
manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja
hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat
pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya, dalam
pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak
berfungsi optimal, maka tentu nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak
manusia dalam menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan. Dari hal
tersebut, kebaikan yang diperoleh manusia adalah nihil. Kisah dua kali perang
dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari
kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh
karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal
yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar
kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan
juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma
untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia
ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika
menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan
mengembalikan kesuksesannya.
Etika
adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau
good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati
nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Soewardi, 1999). Etika merupakan
tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau
sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi
manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat
kewajiban-kewajiban tentang kebaikan yang pelaksananya (eksekutor) tidak
ditunjuk. Eksekutor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadapan pada opsi
baik atau buruk, dimana yang baik itulah yang menjadi kewajiban ekskutor dalam
situasi ini.
D.
Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan
Kebudayaan
adalah hasil karya manusia, yang meliputi hasil akal, rasa, dan kehendak
manusia. Oleh karena itu maka kebudayaan tidak pernah berhenti, terus
berlangsung sepanjang jaman, merupakan suatu proses yang memerlukan waktu yang
panjang untuk memenuhi keinginan manusia untuk lebih berkualiatas. Apabila
kebudayaan adalah hasil karya manusia, maka ilmu sebagai hasil akal pikir
manusia juga merupakan kebudayaan. Namun ilmu dapat dikatakan sebagai hasil
akhir dalam perkembangan mental manusia dan dapat dianggap sebagai hasil yang
paling optimal dalam kebudayaan manusia.
Unsur
kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan
yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan adanya unsur
tersebut, kebudayaan di sini lebih mengandung makna totalitas dari pada sekedar
penjumlahan unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu dikenal
adanya unsur-unsur yang universal yang melahirkan kebudayaan universal. Menurut
C. Kluckhohn ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu sistem religi
dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
sistem mata pencarian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta
kesenian. (Widyosiswoyo, 1996).
Ilmu
adalah bagian dari pengetahuan.Untuk mendapatkan ilmu diperlukan cara-cara
tertentu, memerlukan suatu metode dan mempergunakan sistem, mempunyai obyek
formal dan obyek material. Karena pengetahuan adalah unsur dari kebudayaan,
maka ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan dengan sendiriya juga
merupakan salah satu unsur kebudayaan (Daruni, 1991). Selain ilmu merupakan
unsur dari kebudayaan, antara ilmu dan kebudayaan ada hubungan pengaruh
timbal-balik. Perkembangan ilmu tergantung pada perkembangan kebudayaan,
sedangkan perkembangan ilmu dapat memberikan pengaruh pada kebudayaan. Keadaan
sosial dan kebudayaan, saling tergantung dan saling mendukung. Pada beberapa
kebudayaan, ilmu dapat berkembang dengan subur. Disini ilmu mempunyai peran
ganda yakni:
1.
Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung pengembangan kebudayaan.
2.
Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak bangsa
(Materi
Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V)
E.
Hubungan antara Ilmu dengan Krisis Kemanusiaan
Suatu
kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah
adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup.
Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup,
memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak
sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa
kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu
kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh,
hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran
mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan
perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat
modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih
untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak)
yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah
kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan.
Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup
oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan.
Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan
tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam
masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah
ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang
lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan
teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir
tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama
manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Ilmu
merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial,
namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat
ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Pertama,
filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek apa
yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari landasan
ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus
bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan,
ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi
semua realitas dalam semua bentuknya.
Menurut
Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan,
ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang
penyangga yang kedua adalah Epistimologi ilmu atau teori pengetahuan. Ini
merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan
demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran
penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula
tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu
pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan
perumusan berikutnya.
Kecenderungan
yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu
pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian
tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia,
sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan
dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri
yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah
yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari
kecenderungan yang pertama.
Kedua
kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam
keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan,
kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat
diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah
batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang
mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi
akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur
sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang
kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi
pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Kedua
kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu
dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran
akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan
perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan
kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu
bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih
berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan
mekanismenya?
Tiang
penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu
yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan
kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal
memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang
sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan
lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain
sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia
dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada
awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk
hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu
sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai,
maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap
ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah
bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab
moral.
Untuk
lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan
mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari
definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.
Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di
dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan
norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai
itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan
yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas
dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang.
Nilai
itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan
haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan
eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur
kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada
proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik.
Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan
nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai
adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran
ilmiah adalah yang sangat penting. Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada
epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada
kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus
mapu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan
seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan
akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika
keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk
kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat
mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah
yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang
seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang
bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok
persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah
moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang
bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan
tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia. Nilai
dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral.
Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral
tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik
seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum,
budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait
dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang
berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi
ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan
ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa
teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan
nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti
ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di
tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh
karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat,
yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu
pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab
seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia
harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang
lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan.
Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran
secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka
seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan
kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada
masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai
seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Tentang
tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan
para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan
pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan
ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra
untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah
sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian
yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya
para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi
ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan
beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu
pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas
sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain
sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat
manusia secara keseluruan.
Dalam
perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang kompleks, dan
manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa hidup layak
tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan manusia, tetapi
manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Manusia
telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan
menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah melahirkan
mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa
dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari
semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu
dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Dalam
realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika
prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada
kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua
dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang
bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan
universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi
karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan
kemandirian.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat ilmunya sebagai
sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya
mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan
perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama
yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan
perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap
ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan
manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
F.
Hubungan antara Teknologi dengan Etika
Secara
umum, etika menuntut kejujuran dan dalam iptek ini berarti kejujuran ilmiah
(scientific honesty). Mengubah, menambah, dan mengurangi data demi kepentingan
tertentu termasuk dalam ketidakjujuran ilmiah. Mengubah dan menambah data
dengan rekaan sendiri dapat dimaksudkan agar kurvanya memperlihatkan
kecenderungan yang diinginkan. Mungkin penelitinya sendiri yang menginginkan
agar hasil penelitiannya sesuai dengan teori yang sudah mapan. Mungkin penaja
(sponsor) peneliti itu yang ingin menonjolkan citra produk industrinya. Mereka-reka
data semacam itu merupakan the sin of commission. Sebaliknya membuang sebagian
data yang “memperburuk” hasil penelitian adalah the sin commission. Penghapusan
data yagn “jelek” itu mungkin dimaksudkan oleh penelitinya agar analisis
datanya memperlihatkan keterandalan (realibility) yang lebih baik. Lebih jahat
lagi kalau dosa komisi itu dilakukan untuk menyembunyikan efek samping yang
negatif dari produk yang diteliti. Ketidakjujuran ilmiah semacam ini pernah
dilakukan peneliti yang ditaja pabrik penyedap rasa (monosodium glutamate) di
Thailand.
Kalau
data yang dibuang itu dinilai sebagai penyimpangan dari kelompok yang sedang
diteliti, dan karenanya harus ikut diolah, kejujuran ilmiah menuntut penjelasan
tentang penghapusannya. Perlu juga disebutkan patokan yang dipakai untuk
menentukan ambang nilai data yang harus ikut dianalisis, misalnya patokan
Chauvenet. Sekarang umat manusia menghadapi masalah-masalah yang sangat serius,
yang menyangkut teknologi dan dampaknya pada lingkungan. Kenyataan ini memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang etika:
- Norma-norma etika (dan agama) yang seperti apakah yang harus kita patuhi dalam penelitian di bidang bioteknologi, fisika nuklir dan zarah keunsuran, serta astronomi dan astrofisika?
- Dalam penelitian kedokteran dan genetika, apakah arti kehidupan?
- Dalam penelitian dampak teknologi terhadap lingkungan, bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam, baik yang nirnyawa (the inanimate world) maupun yang bernyawa.
- Apakah masyarakat yang baik itu, dan dapatkah dikembangkan pengertian yang universal tentang kebaikan bersama yang melampaui individualisme, nasionalisme, dan bahkan antroposentrisme?
Dalam
bioteknologi (termasuk rekayasa genetika) dan kedokteran, pertanyaan tentang
arti, mulai dan berakhirnya kehidupan sangat penad (relevant). Apakah orang
yang berada dalam keadaan koma dan fungsi faal serta metabolismenya harus
dipertahankan dengan alat-alat kedokteran elektronik dalam jangka panjang yang
tidak tertentu masih mempunyai kehidupan yang berarti ? Tak bolehkah ia minta
(misalnya sebelum terlelap dalam keadaan seperti itu), atau diberi, euthanasia
berdasarkan informed consent dari keluarganya yang paling dekat? Ini mengacu ke
arti dan berakhirnya kehidupan. Mulainya kehidupan, penting untuk diketahui
atau ditetapkan (dengan pertimbangan ilmu dan agama) untuk menentukan etis dan
tidaknya menstrual regulation (“MR”) dan aborsi, terutama dalam hal indikasi
medis dari risiko bagi ovum yang telah dibuahi dan terlebih-lebih lagi bagi
ibunya, kurang meyakinkan.
Bioteknologi/rekayasa
genetika mungkin hanya boleh dianggap etis jika tingkat kegagalannya yang
mematikan embrio relative rendah dan – bila menyangkut manusia – hanya mengarah
ke eugenika negatif. Tanaman dan organisme harus disikapi dengan hati-hati,
baik dari segi perkembangan jangka panjangnya yang secara antropo sentries
mungkin membahayakan kehidupan kita, maupun dari segi pengaturannya dalam tata
hukum dan ekonomi internasional yang biasanya lebih menguntungkan negara-negara
maju. Etiskah untuk mematenkan organisme dan tanaman yang telah diubah secara
genetic (genetically modified)? Adilkah itu dan apakah itu tidak mengancam
kelestarian plasma nutfah? Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan
agihan (distributive justice). Pengagihannya bukan hanya secara spatial, tetapi
juga secara temporal. Dimensi spatiotemporal dari keadilan distributive ini
tersirat dalam pengertian tentang “pembangunan yang terlanjutkan” (sustainable
development) menurut Gro Harlem Brundtland.
G.
Hubungan antara Teknologi dengan Kebudayaan
Teknologi
merupakan penerapan ilmu yang merupakan hasil aktivitas manusia yang mengkaji
berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas di luar diri.
Kebudayaan merupakan keseluruhan komplek kepercayaan, seni, hukum, moral,
kemauan, dan kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia. Sesuai perkembangan zaman
dan kemajuan ilmu, teknologi yang dihasilkan pun semakin modern dan canggih.
Pada dasarnya teknologi yang dihasilkan oleh umat manusia bertujuan untuk
membuat hidup manusia lebih praktis dan efisien. Namun, perkembangan teknologi
yang ada pada kenyataannya telah banyak mengubah berbagai sendi kehidupan
manusia.
Salah
satu bidang kehidupan manusia yang telah berubah seiring perkembangan teknologi
adalah kebudayaan manusia. Teknologi yang berkembang menyebabkan berubahnya
pola interaksi manusia dari interaksi yang sederhana menjadi interaksi yang
semakin canggih.
H.
Hubungan antara Teknologi dengan Krisis Kemanusiaan
Teknologi
dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa depan cerah,
kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam
konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah
kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang sering lebih penting artinya
daripada teknologi itu sendiri.
Schumacher
menyatakan bahwa dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga
krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik,
organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan. Kedua, lingkungan
hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan
sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian
rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena
itu dipertanyakan bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan
dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
Fenomena teknologi pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
- a. Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
- b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
- c. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
- d. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
- e. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
- f. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideology, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
- g. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi
yang berkembang pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa
sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan
sudah merupakan kebutuhan manusia. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh
Ellul (1964) sebagai berikut :
•
Teknik meliputi bidang ekonomi.
•
Teknik meliputi bidang organisasi seperti adminstrasi, pemerintahan, manajemen,
hokum, dan militer.
•
Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan,
dan obat-obatan. Teknik telah menguasai selutuh sector kehidupan manusia,
manusia semakin harus beradaptasi dengan sunia teknik dan tidak ada lagi unsur
pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Pada
masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses
dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik.
Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari
kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh
dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan
mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga
waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan
mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak
hadir di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri ban, seorang buruh meskipun
sakit atau lelah, ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sekarat di RS,
mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis
produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan
nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2.
Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan
manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau
tidur tidak ditentukan oleh lapar atau mengantuk tetapi diatur oleh jam.
Lingkungan manusia menjadi terbatas, manusia sekarang hanya berhubungan dengan
bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi tidak sempat lagi
menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3.
Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat
kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan
peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan konkrit. Tetapi
sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu
hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial,
sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu.
4.
Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk
masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Sekarang
struktur masyarakat hanya ditentukan oleh hokum ekonomi, politik, dan
persaingan kelas. Proses ini telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial
suatu komunitas. Terjadinya neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut
beberapa ahli merupakan akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial. Kondisi
sekarang ini manusia sering dipandang menjadi objek teknik dan harus selalu
menyesuaikan diri dengan teknik yang ada.
Ternyata
dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan
serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi
manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan
kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan
terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand
Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para
sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa terdapat
kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat,
pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif,
persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan
peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya
kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim
disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada
level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan
masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural
lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat
melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan
keseimbangan.
Illustrasi
krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari berbagai ironi dalam kehidupan
sehari-hari. Munculnya berbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan
manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang mulai
mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula
alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia
dan antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi
kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena
meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang
menafikan rasa dan akal budi.
I.
Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan
Meta-ethical
cultural relativism merupakan cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan
bahwa tidak ada kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus selalu
disesuaikan dengan budaya dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita karena
setiap komunitas sosial mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap
kebenaran etika.
Etika
erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh manusia
sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu
berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap
kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan
dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral
yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan
kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik
atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral
sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal
dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial
tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid
(membunuh anak) adalah tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika
dan negara lainnya tindakan ini merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu
premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan “All moral principles
derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap
kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan
suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.
J.
Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan
Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang
berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama
kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama
Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika /
moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban
dan sebagainya. Menurut K. Bertenes, etika adalah nilai-nilai atau norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika
berkaitan erat dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya
membicarakan tentang masalah-masalah predikat nilai ”susila” dan ”tidak
susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang
dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa
orang yang memilikinya dikatakan tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak
bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan
tingkah laku manusia (Katsoff, 1986).
Etika
dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi
menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika
sosial yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga
masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri
dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial
membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat
manusia. Dalam masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan
etika sosial karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota
masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika
sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung
maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap
kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi maupun
tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat
manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya
sebagai anggota masyarakat.
Di
dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial
sangatlah rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di
kalangan para penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the
World's Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan
deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic) sebagai penjabaran
praktis berupa paradigma etika dan moral untuk diejawantahkan dalam kehidupan
empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi
antisipasif dan solutif atas sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang
dewasa ini tidak hanya memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi,
budaya, dan politik pada banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi
kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi
sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif,
yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu krisis
multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi
global, dan krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut lalu
bermuara pada krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran,
kezaliman, kekerasan, penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Jika
ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal
mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di
kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan yang
kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif
etika global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di
dunia belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar
apresiasi terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian
cepat, terutama pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan
dan kepercayaan atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban
menempatkan manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap
hidup dan kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma
"antropo-centris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri,
sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan". Egosime
kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik yang
bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme,
sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme
manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia berkemanusiaan.
Sebuah
paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the
World's Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai
berikut, "Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan
perintah: kalian tidak boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya:
berdaganglah secara jujur dan adil! Makna dari perintah ini adalah tidak
seorang pun berhak dengan cara apa pun merampas atau merebut hak orang lain
atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga tidak seorang pun berhak
menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan kebutuhan masyarakat dan
bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak mungkin ada suatu tatanan
dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu pada suatu
permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti, dan
sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya manusia
beragama.
Pemecahan
problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin dilakukan
dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan ekonomi dan
politik serta pembelakuan hukum dan undang-undang. Namun, semua itu belum cukup
tanpa perubahan "orientasi batin" (inner orientation) dan sikap
mental yang berkualitas dari masyarakat. Masyarakat membutuhkan reformasi
sosial dan ekologis, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga membutuhkan
pembaruan spiritual. Untuk benar-benar berperilaku manusiawi berarti :
- Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi yang kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang menderita, khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin, penderita cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian.
- Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan persaingan yang tidak terhindarkan.
- Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan, manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian diri serta dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi".
K.
Hubungan antara Kebudayaan dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan
perihal entitas kebudayaan bangsa kita saat ini sangat dalam kaitannya dengan
kebudayaan global, yakni budaya asing (Barat) yang selama ini dirasakan
timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah orientasi
pengembangan budaya nasional, akhirnya jatuh pada komitmen membuka diri dengan
mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global .
Konklusi
harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia ternyata
mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat termanifestasikan secara
komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah adanya paradigma
ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita
dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
Apabila
kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan berproses
dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai “gegar budaya”. Banyak
indikator yang tersaji di keseharian masyarakat kita yang secara empiris
terlihat munculnya keprihatinan dimana-mana pada hampir semua aspek kehidupan
manusia, yang kemudian dapat dirangkum dalam satu ungkapan krisis
multidimensional. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang
salah dalam proses kebudayaan bangsa kita selama ini, sehingga berimplikasi
pada carutmarut persoalan bangsa yang tidak kunjung selesai.
“Kekosongan”
kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak negatif terhadap
kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan. Peralihan kebudayaan
Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya seks bebas, pergaulan bebas,
film porno, minum alkohol, diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll membuat
kita bertanya, kemanakah nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi
ciri khas dari bangsa Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra
bangsa dan cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia
baru. Selain itu, efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis
kemanusiaan. Krisis kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil
di luar nikah, timbulnya penyakit menular seksual, dan meningkatkan angka
kriminalitas.
L.
Hubungan antara Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
Ilmu
pengetahuan dapat memberi dampak positif dan negatif. Ketika ilmu pengetahuan
dimanfaatkan untuk tujuan praktis, manusia hanya memfungsikan sisi hawa
nafsunya saja, sehingga sangat mungkin ilmu pengetahuan diarahkan untuk hal-hal
destruktif. Di sinilah pentingnya nilai dan norma (etika) untuk mengendalikan
hawa nafsu manusia. Etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi dukungan
yang baik bagi pemanfaatan iptek untuk meningkatkan derajat hidup,
kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.
Pada
zaman sekarang, aliran humanisme-antroposentris berkembang pesat. Aliran ini
memiliki pikiran kebudayaan materi yang menafikan kehadiran agama,
individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan (Irfan, 2009). Perubahan
kebudayaan berakibat pada perubahan etika, sebab etika merupakan penilaian
terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu
disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut dan mempunyai
standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku di mana kita
tinggal dan kehidupan sosial apa yang kita jalani.
Apabila
etika (yang juga dapat diartikan sebagai cara berpikir) mengalami perubahan,
maka perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan juga mungkin terjadi, dan
selanjutnya akan menimbulkan kecenderungan adanya hasrat untuk selalu
menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan (teknologi) yang dapat semakin
memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang semakin maju
tersebut selain akan mendorong ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan
berikutnya, juga akan meningkatkan keinginan manusia yang sampai bersifat
memaksa, merajalela, bahkan membabi buta. Pada akhirnya hal ini berakibat pada
tidak manusiawinya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika
ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada berpangkal dari krisis etika.
Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika mendorong merajalelanya perusakan yang
kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Berawal dari
penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan
supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara
canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan
budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai konsekuensi logisnya
(Irfan, 2009). Menurut para sosiolog, kerusakan dalam jalinan struktur perilaku
manusia dalam kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan) terjadi pada tiga
tingkat, yaitu:
1.
Pada tingkat pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan
respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
2.
Pada tingkat yang berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya
kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku à disebut
kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes)
3.
Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan pergeseran nilai dan
pengetahuan masyarakat à disebut gejala kesenjangan
kebudayaan (cultural lag) à nilai-nilai pengetahuan yang
bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual
sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak
pihak yang menganggap bahwa krisis kemanusiaan merupakan ‘anak kandung’ dari
modernisme. Masyarakat modern mampu menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi
berhasil mengatasi berbagai masalah, tapi tidak mampu menumbuhkan akhlak yang
mulia sehingga terjadilah krisis kemanusiaan. Pengamatan para sosiolog tersebut
juga disampaikan oleh Ma’arif (1997) dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme
gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi
kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam
membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang
pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai
kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar