AGAMA PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
(Sebuah Pencarian Paradigma Baru Sains)
Dr. Saepul Ma’mun, SPd., MPd**)
A. Latar Belakang Masalah
Kebekuan akal dan matinya sains dalam abad
tengah membawa ketraumaan yang mendalam bagi ilmuwan dan filsuf akan
metafisika. Munculnya fajar modernitas, dengan renaissancenya, semakin dalam
menguburkan dualisme Plato. Francis Bacon menyambut Organum yang dilemparkan
Aristoteles dengan Novum Organumnya. Dalam teori ini Bacon menguraikan cara
kerja ilmu-ilmu empiris yang induktif, artinya diperlukan metode ilmiah dalam
pengetahuan. Dengan demikian Bacon merupakan orang pertama yang meletakkan
dasar prosedur induktif dengan sangat jelas – membuat percobaan dan menarik
kesimpulan umum dari percobaan itu, untuk diuji dalam percobaan lebih jauh –
dan dengan metode ini ia sangat berpengaruh.
Teori Bacon menimbulkan perubahan yang luar
biasa pada hakikat tujuan penelitian ilmiah. Sejak zaman kuno tujuan ilmu
adalah untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan alam dan kehidupan yang
harmonis dengan alam. Ilmu dicari demi keagungan Tuhan, atau seperti ungkapan
Cina, untuk mengikuti tatanan alam dan mengalir dalam aliran Tao. Semua ini
merupakan tujuan-tujuan Yin, atau bersifat integrative, atau ungkapan dewasa
ini dikenal dengan sikap dasar ilmuwan adalah ekologisme. Pada abad ketujuh
belas sikap ini berubah menjadi lawan kutubnya dari Yin ke Yang, dari integrasi
ke penonjolan diri. Sejak Bacon, ilmu berubah menjadi pengetahuan yang dapat
digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam, dan sekarang baik ilmu maupun
teknologi digunakan untuk tujuan-tujuan yang sama sekali anti-ekologis (Capra,
1997; 55).
Metode Bacon mengadakan dikotomi antara
laki-laki dan perempuan, otak dan benda, objektif dan subjektif, rasional dan
emosional (Shiva, 1997, 21). Dikotomi seperti ini bukan hanya penuh semangat
tetapi juga sangat kejam, penuh eksploitasi. Hal ini terlihat dari
istilah-istilah yang digunakan Bacon dalam mengembangkan metode penelitian
empiris barunya tersebut, seperti: alam harus diburu dalam pengembaraannya,
diikat dalam pelayanan, dan dijadikan budak. Alam harus dimasukkan ke dalam
kerangkeng, dan tujuan ilmuwan adalah mengambil rahasia alam secara paksa.
(Capra, 1997; 55).
Transformasi pemaknaan alam yang harmonis dan
integratif menjadi benda mati, dan dimanipulasi ini terjadi secara radikal
setelah revolusi ilmiah dicetuskan oleh Bacon yang disebut sebgai Bapak ilmu
pengetahuan modern. Perubahan ini semakin kokoh dan mengakar ketika Descartes
dan Newton
menyempurnakan teori Bacon ini terlebih setelah August Comte mengemukakan teori
positivismenya. Metode Descartes bersifat analitik, meragukan segala sesuatu
yang dapat diragukannya -- semua pengetahuan tradisional (mistik,
spiritualitas, religi), kesan inderawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia
mempunyai tubuh sekalipun – hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat
diragukannya lagi, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Dengan hal ini, dia
sampai pada pernyataannya yang terkenal, “cogito ergo sum”, saya berpikir maka
saya ada. Dari sini Descartes menyimpulkan bahwa essensi manusia terletak pada
pikirannya, dan bahwa semua benda yang dapat kita tangkap secara jelas adalah
benar. Konsepsi yang demikian itu – konsepsi pikiran murni dan penuh perhatian
– disebutnya sebagai intuisi, dan dia menegaskan bahwa tidak ada jalan menuju
kepada pengetahuan kebenaran pasti yang terbuka bagi manusia kecuali intuisi
yang jelas dan deduksi yang diperlukan. Dengan demikian pengetahuan yang pasti
itu diperoleh melalui intuisi dan deduksi, dan inilah alat-alat yang digunakan
oleh Descartes dalam usahanya membangun kembali bangunan pengetahuan di atas
pondasi yang kuat.
Pandangan Descartes tentang organisme hidup
tidak lebih dari sekedar mesin. Dia membandingkan binatang dengan sebuah jam
yang tersusun dari roda gir dan pegas. Dia kemudian mempertegas perbandingannya
dengan tubuh manusia: Saya menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin, orang
yang sakit sama halnya dengan jam yang rusak dan orang yang sehat sama halnya
dengan jam yang bekerja dengan baik (Hoodbhoy, 1992; 43). Pandangan mekanistik
terhadap organisme ini membawa sains kepada keangkuhan reduksionisme.
Paradigma mekanistik-reduksionistis ini
semakin melesat di bawah bendera mekanika Newton
yang memahami alam sebagai mesin kosmik raksasa yang bersifat kausal dan tetap.
Sains modern semakin angkuh ketika August Comte mengemukakan gagasan
positivismenya. Positivisme Comte, sebagaimana ditulis Delgaauw (1989, 165)
menerima ilmu pengetahuan positif sebagai titik tolak pemikiran kefilsafatan,
dan menolak pengetahuan batiniah sebagai titik tolak atau sumber bagi
pengetahuan yang manapun. Tetapi dalam hal ini yang penting bukanlah fakta
ilmiahnya sebagai fakta ilmiah, melainkan pengetahuan tentang kesadaran manusia
yang dapat diberikan oleh perkembangan ilmu pengetahuan positif. Belajar
mengenal kesadaran tersebut tidak melalui refleksi batiniah melainkan dari
karya yang dihasilkannya: berbagai ilmu positif.
Para tokoh agama menganggap paradigma sains di atas membawa sains kering akan
nilai-nilai religi atau spiritualitas; sains yang mengancam kelestarian alam
dan keberlangsungan hidup umat manusia; dan sains positif yang tidak mampu
merespon bahkan menjawab persoalan-persoalan mistik dan ultimate questions.
Sampai sekarang kebanyakan ahli filsafat, ilmuwan, sosiolog, dan antropolog, baik
Barat maupun non-Barat, menempatkan persoalan-persoalan supranatural dan
mistik, bahkan religi dalam relung “tradisional” dan irasional. Sebaliknya,
ilmu modern secara unik dinyatakan sebagai natural, material, empiris, dan
rasional. Sesuai dengan metode ilmiah yang abstrak, para ilmuwan dipandang
sebagai orang yang menyajikan pernyataan-pernyataan yang sejalan dengan
kenyataan-kenyataan dalam dunia yang dapat diamati secara langsung, dan secara
langsung pula dapat diperiksa kebenarannya.
Dipihak lain, para tokoh agama dan penganut
mistik menganggap bahwa sains dan teknologi bukanlah persoalan dan bidang
garapan mereka. Bahkan secara ekstrim mereka antipati terhadap sains (sebagai
contoh adalah penghukuman Galileo Galilei oleh kalangan Gereja), sains dianggap
sebagai gurita yang setiap saat mengancam atau menggugat kepercayaan keagamaan
serta menggusur kemampuan tradisional dan mistik yang sudah sekian lama
mengiringi masyarakat dalam menyelesaikan problem keseharian. Di samping itu,
sains juga tidak pernah memberikan jawaban dan tidak mampu memberikan solusi
atas ultimate question (misalnya: tentang kematian, ketuhanan), bahkan
cenderung membuat permasalahan-permasalahan baru.
Apakah memang sains dan religi tak bisa
disatukan (bersama-sama) dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan,
akankah mereka terus berdiri di menara gadingnya masing-masing. Sementara sejak
dua-puluh tahun terakhir abad ke duapuluh, manusia berada dalam suatu krisis
global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang
segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian,
kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis
ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual.
Suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat
manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras
manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini.
Umat manuisa telah menimbun puluhan ribu
senjata nuklir yang siap diluncurkan kapan saja, dan yang tidak kalah
bahayanya, yang menjadi sumber kecemasan rakyat kecil adalah sampah dan bocoran
radiasi nuklir dari pabrik senjata ataupun reaktor. Anehnya para elit politik
atau negarawan justru lebih senang mengucurkan tiga kali lipat anggaran demi
pembuatan dan perlombaan nuklir tersebut. Sementara, lebih dari lima belas juta orang – sebagian besar diantaranya
anak-anak – meninggal karena kelaparan setiap tahunnya, dan lima ratus juta lainnya kekurangan gizi.
Secara lebih rinci, berbagai kekerasan sains
modern yang membawa manusia pada krisis multisegi dikemukakan oleh Shiva (1997;
34) di bawah ini:
a) Kekerasan Terhadap Masyarakat Pinggiran. Perempuan, masyarakat kesukuan,
dan kaum tani sebagai subjek pengetahuan secara sosial, melalui pemisahan
ahli-bukan ahli, yang mengubah mereka menjadi kaum tidak berpengetahuan bahkan
dalam bidang-bidang kehidupan dimana mereka adalah ahli yang sesungguhnya
melalui partisipasinya sehari-hari serta tanggung jawab praktek dan tindakan berada
pada mereka seperti dalam sistem kehutanan, pangan, dan air.
b) Kekerasan Terhadap Alam. Objektivikasi alam sebagai kajian ilmu modern,
mengakibatkan rusaknya integritas alam, baik dalam proses persepsi maupun
manipulasi. Alam dianggap sesuatu yang harus di eksploitasi, dimanfaatkan
habis-habisan, tanpa kepedulian akan kelestariannya.
c) Kekerasan Kepada yang Diuntungkan Pengetahuan. Dengan pernyataan ilmu
modern bahwa masyarakat pada umumnya merupakan penerima keuntungan pengetahuan
ilmiah, mereka – terutama kaum miskin atau pinggiran—adalah korban terburuk
akibat perampasan potensi produktif dan sistem pendukung kehidupan mereka.
d) Kekerasan pada Pengetahuan. Agar dapat diakui sebagai satu-satunya pola
pengetahuan yang sah, yang secara rasional lebih tinggi daripada pola-pola
pengetahuan alternatif, maka ilmu modern melakukan kekerasan terhadap ilmu
sendiri. Ilmu reduksionis (ilmu modern) menyebutkan sistem pengetahuan organik
sebagai tidak rasional dan menolak sistem-sistem kepercayaan pihak-pihak lain
tanpa evaluasi rasional yang menyeluruh. Pada saat yang sama, ia melindungi
diri dari jajahan dan penyelidikan atas mitos-mitos yang telah diciptakannya
dengan memberikan kesucian baru pada dirinya sendiri yang melarang adanya
pertanyaan sifat ilmiahnya.
B. Perumusan
Masalah
Pembicaraan mengenai alam tidak akan dapat
dilepaskan dari pembicaraan mengenai kemanusiaan dan ketuhanan, atau kaitan
ketiganya dikenal dengan kosmo-antropo-teologis. Keprihatinan terhadap alam
akibat kekerasan sains, berarti keprihatinan terhadap kemanusiaan, agama,
ataupun spiritualitas, begitu juga sebaliknya. Sayangnya antara para tokoh
agama dan ilmuwan, kurang merespon keterkaitan dimensi-dimensi tersebut.
Sedangkan pengkajian dan perumusan paradigma baru sains adalah kebutuhan mendesak
untuk mencoba mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkannya.
1. Masalahnya sekarang:
a. mengapa sains dianggap sebagai sumber krisis multisegi;
b. bagaimanakah relasi antara sains dan religi;
c. dapatkah relasi keduanya menggagas paradigma baru sains; dan
d. paradigma baru sains yang bagaimanakah yang, harus dikaji dan dirumuskan.
2. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan penulis, penelitian yang
membahas relasi antara sains dan religi dalam perpektif filsafat ilmu dalam
rangka pencarian paradigma baru sains belum pernah dilakukan dalam penelitian
sejenis (tingkat skripsi). Beberapa yang berkaitan dengan penelitian ini
adalah:
a. Karya Greg Soetomo mengenai “Sains dan Problem Ketuhanan”, di sini Greg
Soetomo menitikberatkan pada perspektif filsafat ketuhanan.
b. Karya Nana Ahmad Hanafi mengenai “Kosmos dalam perspektif sains dan
religi”, di sini ia melihat relasi sains dan religi dalam kaitannya dengan
kosmos.
c. Karya M. Agus Widiyanto mengenai “Konsep Filsafat Sains dalam Konteks
Peradaban Islam”. Penelitian ini mengkaji sains dalam peradaban Islam dan
mencoba mencari paradigma sains Islam dalam hubungannya dengan Islamisasi
sains.
3. Faedah yang Diharapkan
Faedah yang diharapkan dalam penelitian ini
diantaranya adalah:
a. Bagi perkembangan Ilmu. Memberikan kerangka perspektif baru dalam menjawab
perkembangan zaman dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
b. Bagi perkembangan filsafat. Membuka cakrawala filsafat, khususnya filsafat
ilmu agar lebih dinamis menanggapi potensi kemanusiaan, dengan mengembangkan
dialog, khususnya dengan religi dan tradisi spiritulisme.
c. Bagi penulis pribadi. Penelitian ini paling tidak dapat melatih penulis
untuk menarik persoalan riil dalam masyarakat ke dalam refleksi filosofis dalam
upaya pemberian alternatif pemecahannya.
B. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan;
a. Mengangkat persoalan-persoalan sains ke dalam refleksi filosofis.
b. Mengkaji relasi antara sains dan religi.
c. Mengkaji kemungkinan perumusan paradigma baru sains.
C. Tinjauan Pustaka
Di tahun-tahun terakhir ini, telah timbul
keinginan yang terus meningkat untuk mengumumkan bahwa sains --maksudnya sains
modern konvensional-- telah mati secara filosofis, walaupun belum secara
klinis. Katanya, penyebab kematian itu, adalah bunuh diri. Alatnya adalah
sebuah perangkat temuannya sendiri yang disebut fisika kuantum (Hoodbhoy, 1996;
45).
Peristiwa pembunuhan terhadap sains yang
kemudian membidani kelahiran dan kematian kembali sains oleh sains itu sendiri
adalah hal yang semestinya dalam dunia keilmuwan. Dalam konteks yang lebih luas
Hegel memahaminya sebagai dialektika:
Di dalam sejarah umat manusia pada suatu masa
pemikir menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian umat manusia menjadi peserta
dalam idea mutlak, yaitu keilahian. Pada hakikatnya idea yang berpikir ini merupakan
suatu kegiatan, suatu gerak. Hanya saja gerak perlawanan secara silih berganti.
Tetapi secara demikian berdasar tesa dan antitesa timbul suatu gerak baru yang
mencakup kedua gerak sebelumnya, dalam suatu jenjang lebih tinggi, sebagai
sintesis. Proses ini yang berlangsung menurut hukum-hukum akal budi, oleh Hegel
disebut sebagai dialektika….di dalam gerak dialektika itulah mau tak mau dapat
dipahami gerak kesadaran dan sejalan dengan itu juga gerak alam dan gerak
sejarah (Delgaauw, 1992; 140).
Dalam ranah sains Thomas Kuhn menyebutnya
sebagai revolusi sains. Menurut Kuhn (1989; 100), revolusi sains dibuka oleh
kesadaran yang semakin tumbuh, yang lagi-lagi terbagi pada subdivisi yang
sempit dari masyarakat sains, bahwa paradigma yang ada tidak lagi befungsi
secara memadai. Mengenai hal ini Chalmers (1983; 94) menggambarkan bahwa
revolusi sains merupakan suatu skema yang open-ended, artinya, sebuah akhir
yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut, dengan
alur: pra ilmu ? normal science ? krisis ? revolusi ? normal science baru ?
krisis baru, dan seterusnya.
Normal science yang dimaksud Kuhn (1989; 11)
adalah riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah
yang lalu, pencapaian oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika
dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek selanjutnya. Dimana dalam
revolusi sains ini tidak dapat dilepaskan dari adanya suatu paradigma sains.
Paradigma yang dimaksud Kuhn adalah beberapa contoh praktek ilmiah nyata
(aktual) yang diterima --misalnya, dalil, term, penerapan, dan instrumenatsi--
yang memberikan model-model dan menjadi sumber tradisi-tradisi koheren
partikular riset ilmiah (Soetomo, 1998; 22).
Di penghujung abad XX, manusia merasakan
krisis global yang diderivasikan dari paradigma sains yang dibangun sejak
renaissance. Paradigma reduksionis-positivis dianggap gagal menjawab
kelestarian alam dan keberlangsungan hidup umat manusia. Di sinilah Kuhn (dalam
Soetomo, 1998; 21) menyarankan untuk kembali mengkaji sejarah ilmu dan berguru
darinya. Karena historisitas adalah karakteristik dasar alam, dan ilmu itu
sendiri adalah kondisi sejarah, sebagaimana Ian Barbour menulis:
Historicity is a basic characteristic of nature, and science it self is historically conditioned (Barbour, 1990; 220).
Historicity is a basic characteristic of nature, and science it self is historically conditioned (Barbour, 1990; 220).
Terhadap krisis multisegi di atas Capra
menawarkan pendekatan holistik-kesisteman (Lasiyo, 1997; 3) yang berkaca dari
tradisi taoisme. Menurut Capra (1997; 36) terminologi Yin – Yang sangat
bermanfaat dalam analisis keseimbangan kultural yang mewakili pandangan
ekologis yang luas, suatu pandangan yang bisa juga disebut pandangan sistem,
dalam pengertian kesalinghubungan dan kesalingtergantungan semua fenomena, dan
dalam kerangka ini yang dimaksud dengan sistem adalah suatu keseluruhan terpadu
yang sifat-sifat tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat dari bagian-bagian
yang lebih kecil. Organisme hidup, masyarakat, dan ekosistem semuanya adalah
sistem.
Dalam buku “Menyatu dengan Semesta:
Menyingkap Batas Sains dan Spiritualitas” yang merupakan rekaman diskusi antara
Fritjof Capra, David Steindl-rap, dan Thomas Matus, dengan menyepakati istilah
“belonging” (kemenyatuan), mereka berpendapat agar manusia menyatu dengan alam.
Sementara ini sains memandang manusia di luar alam sehingga alam harus dieksploitasi
habis-habisan. Dengan belonging ini manusia bukan lagi dianggap berada di luar
alam, tetapi di dalam alam, dalam suatu keasatuan.
Sementara itu, seorang tokoh
ekofeminisme,Vandana Shiva, menyodorkan prinsip feminitas, sebagai the
sustenance perspective, yakni prinsip yang diperlukan bagi kehidupan, adalah
prinsip yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih, dan kebersamaan (Mansour
fakih, 1997; xxi). Prinsip feminin menjadi kategori penentang dalam cara-cara
tanpa kekerasan untuk memandang dunia, dan dalam bertindak untuk menopang semua
kehidupan dengan memelihara, keterkaitan dan keseragaman alam. Prinsip feminin
memungkinkan peralihan ekologis dari kekerasan ke tanpa kekerasan, dari
perusakan ke kreativitas, dari proses-proses anti kehidupan ke proses memberi
kehidupan, dari keanekaragaman dan memilah-milah serta reduksionisme ke
keutuhan dan kompleksitas (Shiva, 1997; 19-20). Feminitas sebagai suatu prinsip
tidak mesti hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Demikian pula maskulinitas,
tidak serta merta dimiliki laki-laki. Artinya tidak ada batasan biologis untuk
sebuah prinsip.
Bertolak dari gagasan memanusiakan teknologi
(sains), Alan R. Drengson sebagaimana dikutip Inocencio Menezes (1986; 75)
mengatakan bahwa sekarang teknologi berada dalam tahap appropriate technologi.
Tekanan dalam tahap ini adalah keserasian antara teknologi dengan kepentingan
manusia dan integritas ekosistem. Juga digarisbawahi bahwa teknologi harus
dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi tuntutan-tuntutan berikut
ini: (1) teknologi harus beraneka ragam, supaya bisa memungkinkan banyak
alternatif atau pilihan untuk individu maupun perkembangan sosial, (2) Harus
ada interaksi yang serasi antara manusia, mesin-mesin, dan biosfer. Ini syarat
mutlak untuk mempertahankan sistem ekonomi yang stabil di masa mendatang, (3)
Teknologi harus baik secara termodinamis untuk menghasilkan dan menggunakan
energi serta untuk mengimbangi semua kerugian baik ekonomis maupun ekologis,
(4) Teknologi harus bersifat promotor perkembangan manusia yang menggunakannya.
Berarti proses teknologi harus lebih menopang hidup daripada mengancamnya. Maka
appropriate technologi merupakan pandangan filsafat yang paling menyeluruh
karena bisa melibatkan subjek dan objek bersama dalam rasa tanggung jawab dan
dalam interaksi timbal bailk. Pada tahap ini ada keseimbangan antara
perkembangan pribadi serta sosial yang terus menerus dan prinsip-prinsip
ekologis.
Untuk memperjuangkan satu masyarakat baru
sebagai konsekuensi masyarakat industri modern -- demikian Marcuse menyebut
sains modern – yang satu dimensi, Herbert Marcuse dalam bukunnya One
Dimensional Man mengajukan dua hal. Pertama, perlu sedapat mungkin orang
mengurangi kekuasaan (the reduction of power): kekuasaan politik, ekonomi,
pendeknya konsentrasi kekuasaan dalam sistem dimana orang terkurung sekarang
ini. Kedua, Perlu orang mengurangi perkembangan yang berlebih-lebihan (the
reduction of overdevelopment). Ini berarti menolak kebutuhan-kebutuhan palsu
yang secara artifisial dibangkitkan oleh sistem produksi modern dan
meninggalkan semua usaha untuk semakin meningkatkan mutu kehidupan (the
standard of living) (Bertens, 1981; 213).
Marcuse tidak bermaksud membuang ilmu
pengetahuan, teknologi, dan industri modern sebagai sesuatu yang mengerikan
atau tidak berguna. Ia tidak mau kembali ke keadaan asali (artinya keadaan pra
ilmiah dan pra teknologis), seperti halnya pada Jean-Jacques Rousseau. Basis
teknologis tetap perlu bagi masyarakat yang akan datang. Sebab dengan itu semua
baru dimungkinkan untuk mengurangi pekerjaan dan memutuskan semua kebutuhan.
Ilmu pengetahuan dan teknik tidak harus dibuang, tetapi harus diubah secara
kualitatif, sehingga timbul masyarakat yang kualitatif lain (Bertens,1981;
212).
Sementara itu Jacques Ellul menawarkan tiga
tahap alternatif jalan keluar. (1) Realisme. Kaum intelektual menawarkan
peranan penting dalam mengusahakan desakralisasi dan membangun realisme. Ellul
mengatakan bahwa orang harus menghancurkan berhala-berhala modern, melepaskan
mitos terhadap berbagai ilusi, menghadapi sejarah yang berdarah. Kita sering
mendewa-dewakan teknologi, pendidikan, dan politik; sikap pendewaan seperti
inilah yang memperbudak kita. (2) Perubahan diri. Hal ini harus diusahakan
secara pribadi oleh setiap orang dengan kepekaan khusus yang tidak ada pada
masyarakat teknologi sebagai keseluruhan. Perubahan sosial hanya terjadi
melalui orang-orang yang sudah memiliki suatu kesadaran yang cerah. Upaya untuk
meraih kekuasaan sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan apapun.
Kebangkitan dan dampak pribadi manusialah yang dapat menghancurkan tirani
teknologi. Yang dicari Ellul adalah orang-orang yang hidup lurus dan memiliki
kepribadian asli. (3) Tindakan nyata. Kalau kesadaran akan realisme dan
perubahan diri sudah tercapai, maka dibutuhkan suatu tindakan nyata.
Program-program yang sudah jadi, tinggal pakai, tidak lain merupakan suatu
bentuk penindasan yang baru, karena mencegah seseorang untuk menciptakan suatu
pola hidup yang bebas. Ellul menolak membangun model-model kelakuan yang statis
dan mendesak orang supaya mencari sendiri arti keterlibatannya dalam masyarakat
modern, serta menentukan sendiri bentuk tindakannya. Ia mencontohkan, membentuk
pusat-pusat oposisi atau arena debat, dan mendorong pluralitas (Menezes, 1986;
66-69).
Menurut Michel Foucault, dalam episteme
(sistem pemikiran) abad modern, manusia mempunyai struktur organisnya sendiri
yang dikuasai oleh hukum-hukum internal. Manusia tampil dengan wujud
manusianya, dalam kepadatannya, dengan ciri kebendaannya sendiri: sebagai subjek
yang mengetahui sekaligus objek yang diketahui yang dilihat sebagai makhluk
yangberbicara, hidup, dan bekerja, sekaligus yang ditentukan menurut
hukum-hukum produksi (Susilo, 1993; 84). Dengan kata lain manusia menjadi objek
pengetahuan secara penuh, tapi dilain pihak manusia sebagai penemu baru akan
menemui kesudahannya. Disinilah manurut Foucault manusia seharusnya kembali
merenungkan keberadaan semestinya dalam arkeologi pengetahuan.
Kesetiaan kepada fakta yang diperintahkan
oleh metode ilmiah membuat pengetahuan menjadi umum (publik) dan empiris.
Dengan demikian ilmu tidak dapat didamaikan dengan transendentalisme dalam
bidang yang manapun, sebab pengetahuan yang dapat dibedakan dari kepercayaan
adalah didasarkan pada fakta yang telah terbukti kebenarannya, sementara apa
yang oleh transendentalisme dinyatakan sebagai kebenaran berada diluar
jangkauan pengujian dengan pengalaman. Dengan pertimbangan yang sama,
mistisisme pun asing bagi semangat dan metode ilmu pengetahuan. Pengalaman
mistikus bisa saja, dan memang sudah pernah, dijadikan pokok keingintahuan dan
penelitian ilmiah. Penelitian seperti itu dapat menyingkapkan cara kerja
pikiran manusia dalam kondisi-kondisi tertentu. Akan tetapi hal itu berbeda
sama sekali dengan menyatakan bahwa penafsiran sang mistikus mengenai
pengalamannya sebagai penyatuan dengan Yang Ilahi sahih dari segi ilmiah. Dalam
ketiadaan pengetahuan positif yang cukup memadai, kebanyakan orang di masa
lampau telah menyalahtafsirkan sejumlah fenomena lain, seperti penyakit ayan,
wabah penyakit, gerhana, dan kemunculan komet. Kebenaran yang menurut pengakuan
mistikus telah dialaminya adalah sama benarnya dengan tafsiran kolot tentang
gerhana matahari (Shah, 1986; 93).
Feyerabend mengkritik pandangan Lakatos
tentang kesuperioran sains dibanding persoalan agama, spiritualitas, dan
mistik, dengan mengatakan:
Having finished his “reconstruction” of modern science. He (Lakatos) turns it against other fields as if it had already been established that modern science, is superior to magic, or Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shred of an argument of this kind, “rational reconstructions” take “basic sciencentific wisdom” for granted, they do not show that it is better than tha “basic wisdom” of witches and warlocks (Feyerabend, 1979; 203). (Setelah menyelesaikan rekonstruksi-nya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih superior/unggul daripada sihir atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada sedikit pun argumentasi yang dikemukakan. Rekonstruksi rasional menganggap kearifan ilmiah sebagai sesutu yang sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik daripada kearifan para ahli sihir dan tukang-tukang sulap).
Having finished his “reconstruction” of modern science. He (Lakatos) turns it against other fields as if it had already been established that modern science, is superior to magic, or Aristotelian science, and that it has no illusory results. However, there is not a shred of an argument of this kind, “rational reconstructions” take “basic sciencentific wisdom” for granted, they do not show that it is better than tha “basic wisdom” of witches and warlocks (Feyerabend, 1979; 203). (Setelah menyelesaikan rekonstruksi-nya tentang ilmu modern, ia (Lakatos) mengalihkannya ke bidang-bidang lain seolah-olah telah mapan bahwa ilmu modern lebih superior/unggul daripada sihir atau ilmu Aristotelian, dan bahwa ia tidak mempunyai hasil-hasil ilusif. Namun, tidak ada sedikit pun argumentasi yang dikemukakan. Rekonstruksi rasional menganggap kearifan ilmiah sebagai sesutu yang sudah benar, tetapi tidak dibuktikan bahwa ia lebih baik daripada kearifan para ahli sihir dan tukang-tukang sulap).
Negara juga berperan terhadap posisi ilmu
yang superior dari agama. Negara menjadikan ilmu sebagai bagian dari
perkembangan negara tersebut, sementara agama diserahkan pada penganut maupun
institusi agama itu sendiri. Mengenai hal ini Feyerabend menulis: Thus, while
an American can now choose the religion he likes, he still not permitted to
demand that his children learn magis rather than science at school. There is a
separation between state and church, there is no separation between state and
science (Feyerabend, 1979; 299). (Jadi bila seorang Amerika kini dapat memilih
agama yang disukai, ia tetap tidak diperkenankan untuk meminta anak-anaknya
belajar sihir ketimbang ilmu di sekolah. Ada
pemisahan antara negara dan gereja, tetapi tidak ada pemisahan antara negara
dan ilmu)
Hal tersebut disebabkan karena ilmu telah
menjerat secara ideologis dan propagandis dalam kehidupan masyarakat. Upaya
melepaskan diri dari jeratan ilmu merupakan kebutuhan yang mendesak, agar tradisi
spiritualitas kembali berjalan dengan normal dalam masyarakat, sebagaimana
Feyerabend menulis:
Let us free scienty from the strangling hold
of an ideologically petrified science just as our ancestors freed us from the
strangling hold of the one true religion (Feyerabend, 1979; 307). (Marilah kita
bebaskan masyarakat dari kungkungan ilmu yang membantu secara ideologis, persis
seperti nenek moyang kita yang membebaskan kita dari kungkungan agama
satu-satunya yang benar)
E. Landasan Teori
Pemfalsifikasian terhadap religi dan mistik
dengan indikator ilmiah milik sains, jelas merupakan sesuatu yang tidak adil
(fair) ?Vandana Shiva menyebutnya sebagai “kekerasan terhadap pengetahuan dan
ilmu yang lain”. Hal ini akan menimbulkan “ilmu yang unggul terhadap ilmu yang
lain”. Kalau sudah seperti ini, akan terjadi perang klaim keunggulan
pengetahuan atau ilmu dengan menggunakan standar ganda, adalah standar bahwa
yang lain itu lebih rendah atau salah sedangkan dirinyalah yang paling unggul
atau benar. Dengan demikian pemfalsifikasian kurang tepat bahkan cenderung
merupakan kekerasan.
Dalam sejarah sains, paradigma sains sebagai
sesuatu yang merohani dalam kehidupan dan perkembangannya, selalu berdialektika
dengan semangat zamannya. Dialektika tersebut akan menghasilkan siklus revolusi
sains, ketika sains yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zamannya.
. Paradigma sains modern telah membunuh potensi kemanusiaan yang lain – selain
rasio – dalam kaitannya dengan sumber pengetahuan, terutama pengetahuan dan kemampuan
intuitif, yang pada saat ini menghasilkan berbagai krisis, sehingga diperlukan
revolusi sains di atas. Manusia sebagai kesatuan total akan dimensi
rasional-intuitif ataupun jiwa-badan, selayaknyalah memfungsikan secara total
potensi kemanusiaannya untuk mengetahui, sehingga akan didapati pengetahuan
yang lebih komprehensif, bukannya reduksionis.
F. Metode Penelitian
1. Bahan
Penelitian
Penelitian ini mengambil bahan dari Buku,
artikel, media massa,
jurnal, Internet, Film, dan Novel. Buku-buku yang memuat kajian tentang sains,
religi, dan paradigma baru sains antara lain: “Religion in an Age of Science”,
“Myths, Models, and Paradigms” karya Ian Barbour; “The New Story of Science,
Mind and The Universe” karta Augros dan Stanciu; “Axiology: The science of
Values” karya Archie Bahm; “The Structure of Scientific Revolution” karya
Thomas Kuhn; “Science Without Bound, A Synthesis Science, Religion, and
Mysticism” Karya Arthur J. D’Adamo, dan berbagai sumber lain (yang disebutkan
di atas) yang berkaitan dengan tema penelitian ini. Pencarian bahan dari
internet dengan memulai dari situs-situs induk seperti: www.yahoo.com,
www. google.com, www.altavista.com, www.bgsu.edu/pdc (philosophy documentation centre). Film dan
novel sekedar sebagai pemompa inspirasi dan refleksi filosofis lebih jauh, film
yang berkaitan dengan tema tersebut misalnya: “The Hollow Man”, “Contact”, “The
6th Day”, “Phyton”, sementara novel yang berkaitan dengan tema ini misalnya
“Celestine Prophecy”, dan “The 10th Insight” karya James redfield.
2. Jalan Penelitian
Langkah-langkah yang diambil dalam penelitian
ini:
Pengumpulan bahan. Bahan yang berkaitan
dengan berbagai media dikumpulkan.
a. Klasifikasi bahan. Bahan yang sudah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan
menurut tema maupun bab yang terkait.
b. Analisis. Bahan yang telah diklasifikasikan dianalisis. Analisis terhadap
bahan tersebut melalui perenungan sendiri maupun diskusi dengan kolega ataupun
orang yang kompeten.
c. Penulisan. Setelah hasil analisis di evaluasi dan dikritisi ke dalam
refleksi filosofis lantas dituangkan dalam penulisan.
3. Analisis Hasil
Dalam menganalisis data-data yang terkumpul penulis menggunakan metode di
bawah ini:
a. Interpretasi. Dalam metode ini penulis berupaya menerobos, memahami
data-data, peristiwa atau situasi problematis.
b. Holistika. Dengan metode ini, penulis menggabungkan atau mengumpulkan
berbagai pemikiran atau konsep untuk menuju suatu keseluruhan visi.
c. Koherensi intern. Dengan metode ini, penulis berusaha memahami hakikat
manusia dalam kaitannya dengan potensi kemanusiaan, khususnya sumber-sumber
pengetahuan manusia.
d. Heuristika. Dengan metode ini penulis berupaya menemukan jalan baru untuk
memecahkan masalah-masalah dalam penelitian ini.
e. Deskripsi. Dengan metode ini penulis mencoba menguraikan secara umum dan
teratur refleksi penulis.
Metode Anarkisme Pengetahuan Feyerabend.
1. Prinsip pengembangbiakan. Dengan prinsip ini penulis menghindari
keterjebakan dalam kerangka atau sistem pemikiran tunggal. Artinya, untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif penelitian ini akan mengikuti
perkembangan yang terjadi selama proses penelitian, bukannya pembatasan atau
reduksionisme. Jadi memungkinkan adanya pluralitas teori.
2. Prinsip apa saja boleh. Dengan prinsip ini penulis mengantisipasi
keterbatasan metode-metode di atas dan menghindari penelitian yang terkungkung
oleh metode yang sudah ditentukan. Namun demikian, metode di atas bukan berarti
tidak diperlukan, tapi dijadikan prioritas pertama.
F. Hasil yang Akan Dicapai
Hasil yang ingin di capai dalam penelitian ini:
1. Mengetahui keterbatasan paradigma sains modern.
2. Memperoleh gambaran tentang relasi sains dan religi dalam bingkai filsafat
ilmu.
3. Memperoleh pemahaman baru dengan merefleksikan paradigma baru sains.
G. Sistematika Penulisan
Demi tercapainya suatu pemahaman yang lebih
runtut, mudah dan integral, skripsi ini dibagi dalam lima bab.
Bab I, Pendahuluan membahas tentang latar
belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, hasil yang akan dicapai dan sistematika penulisan.
Bab II, menguraikan struktur ilmu yang
meliputi batasan dan ruang lingkup filsafat ilmu, sejarah perkembangan filsafat
ilmu, dan asumsi keilmuan.
Bab III, menguraikan tentang sains dan religi
yang meliputi pengertian dan historisitasnya, juga membedah struktur sains dan
religi.
Bab IV, membahas persamaan dan perbedaan
sains dan religi, kritik timbal balik antara sains dan religi, redefinisi sains,
dan struktur sains baru.
Bab V, berisi kesimpulan dan saran.
Pada bagian akhir terdapat daftar pustaka
yang merupakan daftar referensi baik yang dikutip secara langsung maupun tidak,
dan sebagai acuan bagi pembaca yang tertarik untuk meneliti persoalan dalam
skripsi ini lebih lanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar