MORALITAS DALAM TINJAUAN FILSAFAT
AKSIOLOGI
OLEH: DR. SAEPUL MA’MUN, SPd., MPd
Mandeville dalam bukunya yang
berjudul “Enquiry into the Origin Of
Moral Virtue” menonjolkan akan gagasan bahwa semua moralitas itu hanya
kebiasaan saja, sudah lama tersebar yakni sejak zaman para sofis dan kaum
skeptic pada zaman Yunani purba. Pemikiran Mandeville ini diperkuat oleh
Frederick Nietzche bahwa pada awalnya
tidak ada hal yang baik dan hal yang buruk. Yang ada hanya yang kuat dan yang
lemah. Yang kuat dengan kekuatannya, kelicikannya, kejantannnya menghina yang
lemah, yang seperti perempuan, sabar, penurut, dan lembut. Masing-masing
golongan memuja sifatnya masing – masing dan menghukum golongan lain. Sehingga
muncullah perbedaan antara moralitas bendoro dan moralitas budak. Karena
jumlahnya besar dan mendapat dukungan dari agama katolik, moralitas budak
menang. Ini merupakan bencana bagi rakyat yang sangat besar.
Para evolusionis modern, misalnya
Herbert Spencer mencari jejak permulaan gagasan – gagasan moral pada binatang.
Sebagaimana manusia berkembang dari hewan, maka gagasan moral tentu mengalami
perkembangan evolusi yang sama. Cara berbuat yang dianggap berguna berkembang
menjadi kebiasaan suku – suku primitive. Bersama dengan majunya peradaban makin
disaringlah dan menjadi system moral yang kita pakai sekarang ini. Karena
proses evolusi belum berhenti, maka system tersebut masih bisa menjadi system
yang lebih tinggi.
Benar bahwa moralitas itu bergantung
kepada Tuhan dan bahwa kehendak Tuhan adalah bebas, tetapi penjelasan di atas
tidak kuat, kita tidak boleh membayangkan-bayangkan seakan-akan Tuhan melihat
daftar perbuatan-perbuatan manusiawi yang mungkin (possible human acts), dan kemudian mengambil semau-mauNya beberapa
perbuatan, dan Dia pastikan sebagai salah. Benar bahwa Tuhan memerintahkan
yang baik dan melarang perbuatan yang
buruk. Tetapi kehendak-Nya ini bergantung pada intelek-Nya. Dan keduanya,
kehendak dan intelek, bergantung pada hakikat-Nya.
Tidak terdapat adanya kontradiksi
dalam Tuhan. Tidak dapat
Tuhan memerintahkan manusia menjalankan suatu perbuatan yang Tuhan sendiri
tidak mungkin memerintahkannya, karena berlawan dengan kekudusan Tuhan. Tuhan juga tidak dapat melarang manusia mengerjakan suatu perbuatan
yang justru kekudusan Tuhan sendiri menuntutnya. Tuhan tidak dapat keji, tidak
adil, menipu. Maka Tuhan tidak hanya tidak menghendaki hal-hal tersebut, Dia
sendiri tidak dapat. Apa sebab nya?. Karena jika bertindak demikian berarti Dia
akan menghancurkan diri-Nya sendiri. Dan Tuhan adalah ada yang berada menurut
hakikat-Nya. Maka Tuhan tidak dapat memerintahkan perbuatan-perbuatan tersebut
tidaklah buruk karena Tuhan melarangnya. Tetapi Tuhan wajib melarangnya karena perbuatan-perbuatan tersebut buruk
pada hakikatnya.
1. Moralitas
1.1.
Pengertian Moralitas
Moralitas
mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia. Moralitas ada yang objetif
dan atau subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata
sebagai perbuatan yang telah dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh sukarela pihak pelaku. Sedangkan
moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai perbuatan
yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan dari si pelaku. Selain dari pada
itu moralitas juga dapat berssifat intrinsic dan ekstrinsik. Moralitas intrinsik yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh individu yang terbebas dari hukum positif . sehingga moralitas
intrinsic ini lebih menekankan pada hakikat baik dan buruk, tanpa melihat
larangan dan perintah dari individu yang lain. Moralitas ekstrinsik memandang bahwa perbauatan
individu mengacu pada adanya larangan atau perintah dari individu yang berkuasa
atau hukum positif.
Berkembangnya pengetahuan manusia
mengakibatkan munculnya berbagai macam teori mengenai moral. Terdapat teori
yang menyatakan bahwa bentuk moralitas ditentukan oleh konvensi dan bahwa
bentuk moralitas itu simultan dari kehendak individu dengan sekehendak hatinya
memerintah dan melarang perbuatan – perbuatan tertentu tanpa mendasarkan
sesuatu yang intrinsic dalam perbuatan individu manusia atau pada hakikat
manusia. Teori ini dikenal dengan teori
positivisme moral. Istilah positivisme pertamakali oleh Siant Simon (sekitar 1825) merupakan
pengembangan dari paham empirisme yang dikembangkan oleh Francios Bacon
(sekitar 1600). Disebut
demikian karena semua perbauatan manusia bertumpu pada hukum positif dan
menentang hukum kodral (natural law).
Menurut
teori positivisme moral, perbuatan dikatakan benar dan salah berdasarkan :
1. Kebiasaan manusia
Dalam melakukan suatu
perbauatan manusia menemukan kenyataan bahwa perbauatan itu dapat menyenangkan,
tapi dapat juga tidak menyenangkan. Ketika manusia menemukan perasaan senang
dalam melakukan perbuatan dalam diringanya muncul hasrat untuk mengulanginya
perbuatan tersebut. Karena perbauatan itu diulang sampai berkali-kali dan
dilakukan secara turun temurun, maka jadilah adat kebiasaan. Nilai adat adalah
sesuatu yang diwariskan dalam bentuk ready-made,
yakni sekumpulan pengalaman yang berguna dan porfitabel dari orang –
orang tua. Sehingga adat adalah tiang penyokong peradaban.
2. Hukum – hukum negara
Pencetus pemikiran bahwa
moralitas bersumber pada negara atau masyarakat politik dikemukakan oleh Thomas
Hoobes dab Jean Jacquis Rousseas. Mreka menyatakan bahwa sebelum manusia
mengorganisasikan dirinya kedalam masyarakat politik, tidak ada hal yang baik
dan buruk. Negara bukanlah masyarakat kodrat, tetapi hasil dari sosial Contract¸ persetujuan yang sama
sekali konvensional, yang dengan ini manusia mengorbankan sebagian hak-hak
kodratnya untuk menyelamatkan kodrat lainnya. Pada saat masyarakat sipil
terbentuk, masyarakat ini melarang dan mememrintahkan hal – hal tertentu untuk
mencapai commomn good, dan inilah saat munculnya
baik dan buruk.
3. Pemilihan bebas tuhan
Perbuatan – perbauatan
individu hanya tergantung pada kehendak illahi, hal ini dikemukakan oleh
William dan Ockham bahkan ia menambahkan bahwa tuhan bisa memerintahkan makhluk
– makhluk-Nya untuk membenci dia, dan kebencian ini akan menjadi baik. Pada
hakikatnya semua perbuatan itu indeperen, akan tetapi baik dan buruknya bukan
diperintah atau dilarang oleh tuhan. W. Poespoprodjo, (1999 : 120-129).
Dari uraian di atas bahwa
perbuatan hanya mempunyai suatu moralitas ekstrinsik: menurut hakekat
indiferen, menjadi baik atau buruk hanya karena seseorang yang berkuasa telah
memberikan perintah atau melarangnya. Akan tetapi terdapat perbuatan yang lain
yang mempunyai moralitas intrinsik, menurut hakekatnya peruatan-perbuatan
tersebut baik atau buruk, dan merupakan adan dan kebiasaan, hukum manusiawi
atau bahkan perinyah Tuhan.
Selanjutnya kami akan membahas
lebih lanjut mengenai norma-norma yang mempengaruhi moralitas.
1.2.
Norma-norma Moralitas
Norma
adalah aturan, standar, ukuran. Norma adalah sesuatu yang sudah pasti yang
dapat kita pakai untuk membandingkan sesuatu yang lainyang kita ragukan hakekatnya,
besar kecilnya, ukurannya, atau kualitasnya. Jadi norma moralitas adalah
aturan, standar, atau ukuran yang dapat kita gunakan untuk mengukur kebaikan
atau keburukan suatu perbuatan. W. Poespoprodjo, (1999 : 133-134). Dengan
demikian norma moralitas merupakan suatu yang harus dilaksanakan dan diikuti
oleh manusia untuk melakukan aktivitas atau kegiatan yang baik dan buruk
dipikirkan, dipertimbangkan dan diperhitungkan.
Untuk menemukan sesuatu, kita
harus mencarinya dengan cara-cara yang benar di tempat yang yang benar. Maka
kita harus berusaha untuk menemukan norma moralitas itu, diantaranya : pertama, dalam mencari, kemampuan mana
yang harus dipakai, dan kedua, di
daerah mana kemampuan tersebut harus digunakan
1.3.
Faktor-Faktor penentu moralitas
Memandang perbuatan sendiri menurut hakekatnya aebagai suatu perbuatan.
Atau juga memnadang keadaannya di mana
suatu perbuatan dilaksanakan. Di antara keadaan bisa kita artikan, yakni motif
atau ,maksud si pelaku atau hal-hal yang berbeda dengan motif yang sama atau
juga hal yang sama dengan motif yang sama, tetapi dalam keadaan yang berbeda. Dalam setiap kasus, perbuatan dapat
mempunyai moralitas yang berbeda karena campuran yang berbeda dari ketiga unsur
ini. Faktor-faktor penentu moralitas dapat kita lihat sebagai berikut :
1)
Perbuatan
sendiri
Moralitas terletak pada kehendak, dalam
persetujuan pada apa yang disodorkan kepada kehendak sebagai moral baik atau
buruk. Dalam objek persetujuan kehendak karena telah dapat buktikan bahwa
terdapat perbuatn-perbuatan yang baik atau yang buruk yang menurut hakekatnya
tidak bergantung kepada perintah atau larangan apapun.
A. LOGIKA
Logika
adalah studi tipe – tipe berpikir. Dalam konseptualisasi tradisional, logika
tidak lain daripada studi tentang relasi formal dalam
jenis.perkembangan ilmu alam terasa kurang mempunyai logika tradisional untuk
membuat inferensi – inferensi relasi yang lain. Hal ini terjadi karena dalam
ilmu alam dan matematika terdapat tipe – tipe hubungan logis yang tidak dapat
diselesaikan menggunakan inferensi tradisional, tetapi ditampilkan dengan
menggunakan relasi kalkulus proposisi.
Secara sederhana logika adalah bidang
filsafat yang berhubungan dengan proses penalaran dan pengidentifikasian
atauran – aturan yang memungkinkan pemikir mencapai kesimpulan – kesimpulan
yangh sahih. Proses perkembangan penalaran logis dewasa ini mengarah pada
pemikiran deduktif dan induktif. Logika deduktif menggiring individu untuk
bergerak dari suatu proposisi yang bersifat universal (umum) menuju pada suatu
kesimpulan yang spesifik (khusus). Sedangkan logika induktif menggiring dalam
penentuan kesimpulan dari kenyataan kasus individual menjadi suatu hal yang
general (umum).
Pada perkembangannya logika deduktif
lebih sering digunakan dibandingkan dengan logika induktif. Berdasarkan
penelusuran yang telah dilakukan terdapat banyak sekali macam logika deduktif
yang ditemukan diantaranya :
a.
Logika deduktif matematik
aksiomatik, yang dikembangkan oleh Euclide dan menitik beratkan pada kebenaran
teoreem mengikuti kebenaran asumstifaksiomanya. Dan kebenaran aksiomaitu adalah self – evident.
b.
Logika deduktif Kategorik yang dikemukakan oleh Hegel dan
Descartes melalui paham rasionalismenya.
c.
Logika Deduktif Probabilistik
yang dikembangkan oleh Popper dengan
pola penelaahan menggunakan grand theory
model grass root, menuju teori substansif kemudian teori formal.
Kita dapat menerima bahwa terdapat beberapa perbuatan baik dan buruk semata – mata karena
seseorang yang berkuasa telah memerintahkan atau melarangnya. Perbuatan –
perbuatan tersebut ditentukan oleh hokum positif. Hokum berhak melarang
perbuatan atau tindakan yang hakikatnya baik, tetapi perlu dilakukan demi
ketertiban dan keamanan. Selain daripada
itu baik adat ataupun keputusan manusia bahkan dekrit tuhan tidak dapat merubah perbuatan-perbuatan
instrinsik menjadi indeperen sifatnya. Namun manusia dapat merubah perbuatan
intriksik indeperen menjadi perbuatan ekstrinsik dengan jalan memerintah atau
melarangnya.
Untuk memberikan argument dalam bidang moral ini kita
harus berpatokan yang dapat diterima dari segi moral. Prasayarat yang dilakukan dalam mengeluarkan
argument ini. Kita harus melakukan pendekatan logis dan empiris. Pendekatan
logika mempunyai peranan penting dalam membeberkan fakta – fakta yang empiris.
Berdasarkan observasi dan
studi literatur logika yang cukup cocok untuk mengurai masalah moral adalah
logika deduktif baik deduktif aksioma, deduktif kategorik dan deduktif
probabislistik.
Yang terpenting dalam mengeluarkan argumen dalam kajian
moral adalah menyeimbangkan antara ide dan value. Sebab banyak perbuatan –
perbuatan buruk pada hakikatnya, sehingga baik hokum adat, peraturan manusia
ataupun dekrit tuhan tidak mampu membuat baik perbuatan tersebut contohnya,
pembunuhan, penganiyaaan dan pelacuran.
Dan begitupun sebaliknya banyak perbuatan – perbuatan baik pada
hakikatnya, sehingga baik hokum adat, peraturan manusia ataupun dekrit tuhan
tidak mampu membuat buruk perbuatan tersebut contohnya, saling menolong,
beribadah dan toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
W. Poespoprodjo, 1999 FILSAFAT MORAL; Kesusilaan Dalam Teori
dan Praktek,Pustaka Grafika : Bandung
H. Ismaun, 2004 FILSAFAT ILMU, Universitas Pendidikan Indonesia, Diktat Kuliah, UPI : Bandung
Uyoh Sadulloh, 2004, PENGANTAR FILSAFAT PENDIDIKAN, Alfabeta:
Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar