Oleh: Saepul Ma’mun, SPd., MPd
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang Masalah
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara
ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio
seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris.
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang
lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat
dimengerti. Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam
adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena
itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena
alam
atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan
dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur
tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi
merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang
lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih
rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada
umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab
itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan
pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam
hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang
bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan
modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan
kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik.
Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat
kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu
pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu
pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan
empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan,
mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang
dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara konsekuen
dan penuh disiplin. misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus
filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan
berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat
pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral,
kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasa,
etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita
rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi,
ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran
metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena
yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari
kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini ada beberapa masalah yang akan dibahas,
agar pembahasan dalam makalah ini tidak lari dari judulnya ada baiknya kita
rumuskan masalah-masalah yang akan di bahas, antara lain :
1. Pengertian
kebenaran dan tingkatan-tingkatannya.
2. Hubungan
metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan
3. Teori-teori
kebenaran filsafat ilmu.
4. Sifat
dan tingkatan kebenaran ilmu.
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
manfaat penbuatan makalah ini adalah :
o Agar mahasiswa
mampu mengetahui pengertian dan tingkatan-tingkatan kebenaran ilmu pengetahuan.
o Agar mahasiswa
dapat menjelaskan apa saja hubungan metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan.
o Mahasiswa mampu
menjelaskan tentang teori-teori kebenaran ilmu pengetahuan.
o Mahasiswa mampu
menjabarkan apa saja tingkatan-tingkatan dan sifat-sifat kebenaran ilmu
pengetahuan.
D. Metode
Penulisan
Metode
yang digunakan penulis adalah metode kepustakaan yaitu memberikan gambaran tentang
materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan melalui literatur buku-buku
yang tersedia, tidak lupa juga penulis ambil sedikit dari media massa/internet.
Dan diskusi mengenai masalah yang dibahas dengan teman-teman.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human.
Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi
atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu
kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa
dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan
dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya
haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria
ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang
ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi
ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah
perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam
dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu
pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu
bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan
sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan
harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti
(begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar
motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam
satu kesatuan system.
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang
disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran
ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian
dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran.
Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada
waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran
itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu
yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk
ketidak benaran (keburukan).
Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan
makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau
pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan
hanya merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah
suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga
ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa
persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran.
Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun
demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan
demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia
yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang
terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran
yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar
jangkauan manusia.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran
moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi
bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa
yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan
psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif.
Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan
akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada
merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
B. Hubungan
antara metode dengan kebenaran
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah,
artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang
harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran
ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta
sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar
dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan
kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu
pada suatu asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian
menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata
lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek.
Oleh karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma
(metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya, apakah
itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara epistemologis
kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklai sebagai diketahui dengan
kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak
pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan
realitas sebagaimana adanya.
Setiap
tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu pengetahuan dapat
diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun metode-meode tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Empirisme
Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara
kerja Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa
yang dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan
pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Mereka
memberi peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang
pengenal bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi
mereka untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan
dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi objeknya. Menurut
Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal,
sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena
Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[10]
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya
kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi.
Disamping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang
nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah
kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang
berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar
lepas dari kenyataan subjek.
2. Rasionalisme
Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding
dengan apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang
menekankan dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu
falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan
objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya
ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka
menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya.
Teori Kebenaran Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar
bila terdapat kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau
lainnya dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.
Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang
unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam
teori kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan
secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional,
yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi
mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya
dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam
dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan
lain di luar sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan.
Misal pada jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat,
kebenaran argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.
3. Induktivisme
Induktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak
dari observasi, dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun
pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari
keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Hal itu berarti
bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan
pengetahuan yang probabel benar. Makin besar jumlah observasi yang membentuk
dasar suatu induksi, dan makin besar variasi kondisi di mana observasi
dilakukan, maka makin besarlah pula probabilitas hasil generalisasi itu benar. Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah
probabilitas. Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam
kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu bersifat tentatif, ia benar sejauh
belum ada data yang menunjukkan pengingkaran terhadap teori.
C. Teoti-Teori
Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran,
yakni kebenaran ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun
tidak semua hal itu langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan
ilmiah, dengan metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan
pengujian data secara ilmiah, yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang kebenaran, antara lain
:
1. Teori
Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah
paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran
adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality).
Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu
sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu
berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan
pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya jika seorang
mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka pernyataan
itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni
kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau Jawa. Sekiranya orang lain
yang mengatakan bahwa “kota Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka
pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai
dengan pernyataan terebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta
bukan berada di pulau Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak
mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena
atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau
diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini
benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori
kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa
yang dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa
yang dinyatakan memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang
diungkapkan dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara
apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan
salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan
sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada
kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan
realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai
kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan
oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus
mengungkapkan relaitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan.
Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan
apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini,
mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam
mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa
yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataan.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan
antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang
ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek
(pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korespodensi (corespondence theory of truth), menerangkan bahwa kebenaran
atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti
yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud
oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan
dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual.
Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
Statemaent
(pernyataan)·
Persesuaian
(agreemant)·
Situasi
(situation)·
Kenyataan
(realitas)·
Putusan
(judgements)·
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian
pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya
plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas
Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
2. Teori
Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori keteguhan)
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Artinya pertimbangan
adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain
yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya,
bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia dan si
Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini
adalah bahwa karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau
kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan
kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan
fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang
lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa
henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori
kebenaran sebagai keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan
dengan teori kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi
tertentu kita tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar,
dengan merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar
secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada
realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern
seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi
dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap
sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan
realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.
Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi
faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi
lingkungan tertentu.
3. Teori
Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce
(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How
to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli
filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat
ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di
antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George
Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme,
intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat
(utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan,
Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis
adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu membawa manfaat bagi hidup
praktis dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis pernyataan
ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian.
Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat pragmatis selama
pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap
benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan
perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dati tiga
pendekatan , yaitu :
Yang
benar adalah yang memuaskan keinginan kita,·
Yang
benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,·
Yang
benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.·
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi,
dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling
bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan
dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan
tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah
pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan pertimbangan-pertimbangan
lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya
yang praktis.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan
manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip kepraktisan
(practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas.
Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas
lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” para penganut paham
pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau
idea (whether really or ideally).
William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan
berangkat dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari
berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk
ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh karena
itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide diangap benar, apa
perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan dengan ide yang
tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang benar
dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James, ide atau teori yang
benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi memenuhi tuntutan dan
kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide yang tidak berguna atau
tidak berfungsi membanu kita memenuhi kebutuhan kita.
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya
ide yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu
diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan
sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil
membantu ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan
dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian
menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan
membawanya keluar dari hutan tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide
tersebut benar jika pada akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya
sampai pada pemukiman manusia.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang
proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah
yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna
(useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility),
dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan
(satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang
tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/
hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
o Sesuai
dengan keinginan dan tujuan
o Sesuai
dengan teruji dengan suatu eksperimen
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan
bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal
atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah
tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran
suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
D. Standarisasi
Ilmu
Beberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah
kepada relativisme, Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang
mempertahankan kebenaran hingga mengarah ke bentuk solip. Lingkungan dari
berbagai budaya sepertinya mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan
lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk membandingkan secara
transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka teori kita,
ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan
sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi metode
dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu standar bagi
pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu lebih unggul baik
dalam metode maupun kebenaran dibanding pengetahuan dan keyakinan lainnya.
Gadamer menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu
humaniora, karena menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang sepenuhnya
berbeda dengan alasan teoritis. Demikian juga Dilthey dan Weber menginginkan
pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial, mereka menetapkan teori kritis
tentang masyarakat. Kata “benar” yang dipergunakan dalam ilmu, agama,
spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak dapat diukur dengan
standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun yang benar-benar
menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar dalam suatu makna kata
namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu penciptaan” sebagai
pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan (kosmos) diterima sebagai ilmiah
namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.
Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan
ataupun visi dari suatu masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai
tingkat kebenaran misalnya antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab
masing-masing punya cakupan, , kompleksitas dan variasi yang berbeda.
E. Sifat
kebenaran ilmu
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu
dapat didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama.
Popper memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya
tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.
1. Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian
sempurna, paling bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn
berpandangan bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi
hanya berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses
evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu
merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.
Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun
memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat
keuniversalan ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau
penemuan lain yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan
sama sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya
berbeda dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau
kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada
jaman Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran
daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia
yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk
sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati
kebenaran lebih dekat.
2. Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian
kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling
jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya
teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori
yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak
pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori
sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun verisimilitude
tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang
menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif.
Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang
komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara
probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.
Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa
membenarkan (justify) suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa
“membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan kita atas suatu teori, dengan
mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut sampai kini bisa bertahan
terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya Taryadi, 1989: 75).
3. Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus
dinilai relative dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya.
Feyerabend memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri,
oleh karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena
setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena
menganggap kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan.
Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat
mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman
berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.
4. Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain
suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai
dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin
atas itu ). Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas
ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan
dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori
yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar
melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut”
karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.
Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian
para individu yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang
pengetahuan, objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam
mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu
bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi
interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori
mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan
imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan antara fakta
observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran merupakan
kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan
pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadianyang
digabungkan dengan unsur persetujuan.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di
dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam
kehidupan manusia Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas
telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori
Kebenaran mempunyai Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan
empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik
Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran
mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak
kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan
masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
Dari beberaa Teori Tentang Kebenaran dapat disimpulkan :
Teori Korespondensi :
"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya"
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan
benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau
kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya
terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan
memenuhi standar kebenaran/keadaan benar.
Teori
Konsistensi: "Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
(judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas
hubungan antara putusan-putusan itu sendiri ".
Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan
fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan
yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran
menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta/realitas, tetapi dengan
membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar.
Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Mahatma adalah ayah Rajiv, dan putusan
kedua mengatakan bahwa Rajiv memiliki anak bernama Sonia, maka sebuah putusan
baru yang mengatakan Sonia adalah cucu Mahatma dapat dikatakan benar, dan
putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
Teori Pragmatis :
"Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku
(works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan
dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut ".
Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun
putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum
pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu
bermanfaat atau memuaskan.
B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari
Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami
ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi
kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan
makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Lorens,
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama,2002.
Inu
kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi
Aksara, 1995.
Kunto
Wibisono, aktualitas Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada Press
, 1984.
Pranarka, Epistemologi
Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987.
Taryadi, Epistemologi
Pemecahan Masalah, Yogyakarta, Kanisius, 1989.
Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius,
1980.
Ahmad
Sahidah, Kebenaran dan Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1975.
M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1987.
Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990.
S.
Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta
: Hasta Mitra,1982.
Sonny
Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius,
2001.
Daldjoeni,
N, Ilmu dalam Prespektif, Jakarta : Gramedia, cet. 6, 1985.
Poedjawijatna, Pengantar
ke IImu dan Filsafat, Jakarta : Bina Aksara, 1987.
Abbas,
Hamami, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997.
Lorens,
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama,2002. Hal 90
Inu
kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta : Bumi
Aksara, 1995. Hal 86
Prof.
Kunto Wibisono, aktualitas Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Gadjah Mada
Press , 1984. Hal 37
http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
Daldjoeni,
N, Ilmu dalam Prespektif, Jakarta : Gramedia, cet. 6, 1985.
Hal 235
Poedjawijatna, Pengantar
ke IImu dan Filsafat, Jakarta : Bina Aksara, 1987. Hal 16
Lorens,
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama,2002. Hal 90
Lorens,
Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama,2002. Hal 93
Abbas,
Hamami, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Intan Pariwara, 1997. Hal 87
http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
Sonny
Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius,
2001. Hal 70
S.
Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta
: Hasta Mitra,1982. Hal 18
Sonny
Keraf, 2001, hal 73
Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 57
Ibid,
1990, hal 237
http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
Sonny
Keraf, Ilmu pengetahuan: sebuah tinjauan filosofis , Yogyakarta : Kanisius,
2001. Hal 75
Sonny
keraf,2001, hal 78
Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 55
S.
Arifin, Apa itu Yang Dinamakan Ilmu, Jakarta
: Hasta Mitra,1982. Hal 23
H. M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987. Hal 239
Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 57
H. M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang, 1987. Hal 241
Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius,
1980. Hal 130
Jujun,
1990, hal 59
Jujun S.
Sumiasumantri , Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata :
Pustaka Sinar harapan, 1990. Hal 58
H. M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1987. Hal 249
http://developmentcountry.blogspot.com/2009/10/teori-kebenaran-ilmiah.html
Ahmad
Sahidah, Kebenaran dan Metode, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1975.
Hal 27
H. M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1987. Hal 250
Pranarka, Epistemologi
Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987. Hal 60
H. M.
Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1987. Hal 253
Taryadi, Epistemologi
Pemecahan Masalah, Yogyakarta, Kanisius, 1989. Hal 36
Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius,
1980. Hal 140
Taryadi,
1989, hal 71
Pranarka, Epistemologi
Dasar: Suatu Pengantar. Jakarta : CSIS, 1987. Hal 67
Fajar Pakong
BalasHapusPrediksi Togel
Rekomendasi situs poker
Kumpulan website judi
Bandar Slot game online
Situs slot game online terpercaya
Fajar Pakong
BalasHapusPrediksi Togel
Rekomendasi situs poker
Kumpulan website judi
Bandar Slot game online
Situs slot game online terpercaya